Thursday, 11 June 2020

PERBEDAAN FILSAFAT, PENGETAHUAN ILMU DAN FILSAFAT

PERBEDAAN FILSAFAT, PENGETAHUAN ILMU DAN FILSAFAT



BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kajian utama filsafat, sebagaimana berkaitan dnegan masalah ilmu dan pengetahuan atau tahu, mengetahui, dan pengetahuan. Maksudnya adalah memikirkan segala hakikat  pengetahuan atau hakikat keberadaan segala sesuatu yang bersifat fisikal maupun metafisikal. Objek penyeledikan filsafat akan terus bekerja hingga masalah yang dikajinya ditemukan sampai keakarnya. Bahkan, filsafat baru nampakkan hasil kerjanya manakala ilmu pengetahuan telah berhenti penyelidikannya, yakni ketika ilmu tidak mampu memberi jawaban atas masalah yang dikajinya. Oleh karena itu, ciri khas filsafat tidak dimiliki oleh ilmu pengetahuan sebagaimana sebaliknya, bahwa ilmu pengetahuan memiliki khas yang tidak dimiliki oleh filsafat.

 

1.2  Rumusan Masalah

1.       Apa defenisi dari ilmu itu?

2.      Apa pengertian dari filsafat?

3.      Apa saja yang menjadi perbedaan filsafat, ilmu pengetahuan, dan filsafat ilmu pengetahuan?

 

1.3  Tujuan

1.      Untuk mengetahui defenisi dari ilmu

2.      Untuk mengetahui armti dari filsafat

3.      Untuk mengetahui perbedaan filsafat, ilmu pengetahuan, dan filsafat ilmu pengetahuan?

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ilmu

Ilmu secara umum dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang melekat pada manusia dimana iya dapat mengetahui sesuatu yang asalnya tidak ia ketahui. Salah satu contoh sederhana, umpamanya, sifilan hari kemarin tidak dapat mengerjakan pekerjaan rumah yang ditugaskan oleh dosennya, yakni soal matimatika nomor lima, setelah ia diberitahu oleh gurunya di kelas, baru ia dapat mengerjakan soal itu, dan sekarang si fulan dikatakan sudah mempunyai ilmu tentang soal matimatika tadi. Dari gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa secara umum ilmu berarti tahu. Ilmu itu adalah pengetahuan. Seseorang yang banyak ilmunya bisa dikatakan sebagai seorang ilmuwan, ulama, ahli pengetahuan dan lain sebagainya.

Pada dasarnya pengetahuan mempunyai tiga kriteria yaitu:

a.Adanya suatu sistem gagasan dalam pikiran.

b.Persesuaian antara gagasan itu dengan benda-benda sebenarnya.

c.Adanya keyakinan tantang persesuain itu.

Kebanyakan orang memperoleh pengetahuan dari pengalaman yang diperoleh melalui indera yang ia miliki. Dengan inderanya ia mengenal hal-hal yang ada di sekitarnya. Ia tahu akan panasnya api dan dinginnya es. Ia tahu akan adanya malam dan siang dan masih banyak lagi pengetahuan yang ia dapatkan memalui indera yang dimilikinya. Ia berjalan menurut metode tertentu, karena itu pengetahuan disebut mempunyai metode-metodenya atau approach (pendekatan). Pendekatan disini berarti sekumpulan dari teori, metode dan teknik penelitihan. Manusia terus berupaya agar pengetahuannya itu sesuai dengan objeknya, serta hasil-hasilnya dikumpulkan dengan susunan tertentu pula sehingga semuanya itu merupakan keseluruhan yang tersusun dengan teratur. Ilmu adalah pengetahuan yang sistematis pengetahuan  yang sistematis.

Pengetahuan yang kian hari kian bertambah ini, pada dasarnya bersumber kepada tiga macam sumber, yaitu:

1.Pengetahuan yang langsung di peroleh.

2. Hasil dari suatu konklusi.

3.Pengetahuan yang di peroleh dari kesaksian dan otoritas.

            Pengetahuan langsung diperoleh dari dua sumber:sumber external (luar) dan sumber internal (luar) dan sumber internal (dalam). Contoh yang pertama, umpamanya kita ketahui adanya api di depan kita melalui alat indera pengelihatan kita. Contoh pengetahuan yang bersumber dari dalam, umpamanya kita dapat mengetahui keadaan diri kita sekarang keadaan sedih, gembira atau marah.

            Pengetahuan konklusi ialah pengetahuan yang diperoleh melalui penarikan kesimpulan dari data empirik atau inderawi, seperti apabila kita tahu bahwa diatas sebuah gedung (yang tampak didepan kita) ada kepulan asap. Kita tahu bahwa setiap ada asap pasti ada api yang sedang menyala. Dengan demikia kita mengambil konklusi bahwa di atas gunung itu ada api yang menyala.

            Pengetahuan kesaksian dan otoritas adalah pengetahuan yang diperoleh melalui kesaksian dari orang lain atau berita orang yang bisa dipercaya. Contohnya, kita mengetahui adanya Tuhan melalui para rasul dan kitab-kitab-Nya. Kita pergi berobat kepada seseorang dokter yang kita percayai. Ia memberikan resep untuk dibeli di apotek. Kita tidak mengetahui secara ilmiah apakah obat itu memang menyembuhkan penyakit kita atau tidak. Tetapi, kita tidak ragu membeli obat dan meminumnnya walaupun kita tidak pernah meneliti dan mengetahui secara pasti kemujaraban obat tersebut. Kebenaran resep dokter itu kita terima saja sebagai kebenaran dengan keyakinan bahwa obat itu akan menyembuhkan penyakit kita. Kebenaran seperti ini didasarkan atas kebenaran otoritatif dari seorang dokter yang terpercaya dan memiliki otoritas untuk mengobati orang sakit.

            Pengetahuan yang diperoleh melalui indera disebut dengan pengetahuan inderawi. Setelah diadakan penyelidikan dan eksperimen. Maka ilmu tersebut sekarang menjadi ilmu pengetahuan (science). Apabila sesuatu sudah dapat diketahui oleh indera, dieksperimen dan diteliti. Maka disana orang mulai berfilsafat. Filsafat ini satu tahap lebih tinggi dari pengetahuan biasa. Karena para filsuf sudah mulai memikirkan hakikat sesuatu seperti hakikat dari Tuhan alam dan manusia.

            Manusia sudah lelah dalam usahanya sekuat tenaga untuk menemukan hakikat dari ketiga soal tadi (Tuhan, alam dan manusia).  Kiranya kemampuan berfikir mereka masih sangat terbatas. Konsep dari ketiga persoalan tadi dapat kita temukan, tapi tidak ada kata sepakat mengenai hakikat masing-masing. Disinilah letak kelemahan daya pikir manusia, dan nyatalah bahwa ilmu manusia hanya sedikit saja (lihat aliran-aliran Qur’an, al-Isra” ayat 85).

Lalu apakah agama atau ilmukah yang dapat merampungkan persoalan yang ketiga tadi? Jawabannya tidak lain ialah agama melalui pintu keyakinan dan keimanan.

Titik temu antara ilmu dan filsafat

            Ada beberapa hal dimana filsafat dan ilmu pengetahuan dapat saling bertemu. Dalam beberapa abad terakhir, filsafat telah mengembangkan kerja sama yang baik dengan ilmu pengetahuan. Banyak diantara filsuf terkenal yang telah memberikan kontribusinya kepada sains. Sebagai contoh Leibniz ikut serta dalam penemuan “hitungan differensial”. Filsafat dan ilmu pengetahuan kedua-duanya menggunakan metode pemikiran reflektif dalam usaha untuk menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan. Keduanya menunjukkan sikap kritik dengan pikiran terbuka dan kemauan yang tidak memihak untuk mengetahui hakikat kebenaran. Mereka berkepentingan untuk mendapatkan pengetahuan yang teratur.

            Ilmu membekali filsafat dengan bahan-bahan yang deskriptif dan faktual yang sangat penting untuk membangun filsafat. Tiap filsuf dari suatu periode lebih condong untuk merefleksikan pandangan ilmiah pada periode tertentu. Sementara itu, ilmu pengetahuan melakukan pengecekan terhadap filsafat, dengan menghilangkan ide-ide yang tidak sesuai dengan pengetahuan ilmiah.

            Filsafat mengambil pengetahuan yang terpotong-potong dari berbagai ilmu, kemudian mengaturnya dalam pandangan hidup yang lebih sempurna dan terpadu. Dalam hubungan ini, kemajuan ilmu pengetahuan telah mendorong kita untuk menengok kembali ide-ide dan interprestasi kita baik itu dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang-bidang lain. Sebagai salah satu contoh, konsep evolusi mendorong kita untuk meninjau kembali pemikiran kita hampir dalam segala bidang. Kontribusi yang lebih jauh yang diberikan filsafat terhadap ilmu pengetahuan adalah kritik tentang asumsi postulat ilmu dan analisa kritik tentang istilah-istilah yang dipakai.

            Ilmu dan filsafat kedua-keduanya memberikan penjelasan-penjelasan dan arti-arti dari objeknya masing-masing. Orang lebih menekankan lebih pentingnya deskripsi, hukum-hukum, fenomena dan hubungan sebab musabab. Filsafat mementingkan hubungan-hubungan antara fakta-fakta khusus dengan bagian yang lebih besar. Ilmu menggunakan pengamatan, eksperimen dan pengalaman, sedangkan filsafat berusaha mengubungkan penemuan-penemuan ilmu dengan maksud menemukan hakikat kebenarannya.

            Mari kita tegaskan bahwa perbedaan antara ilmu dan filsafat dalam bagian yang besar adalah perbedaan dan penekanan. Ilmu lebih menekankan kebenaran yang bersifat logis dan objektif. Filsafat bersifat radikal dan subjektif. Ilmu bisa berjalan mengadakan penelitian selama objeknya bisa diindera, dianalisis dan dieksperimen maka berhentilah ilmu sampai disitu. Sedangkan, filsafat justru mulai bekerja manakala ilmu sudah tidak bisa berbicara apa-apa tentang suatu objek. Sekalipun demikian, bukan berarti ilmu tidak penting bagi filsafat, justru filsafat pun bekerja dengan bantuan ilmu. Banyak filsuf yang mendapat pendidikan tentang metode ilmiah dan mereka saling memupuk perhatian dalam beberapa disiplin ilmu. Baik filsuf maupun ahli ilmu kedua-duanya mendapat gambaran yang lebih luas, jika mereka saling memahami dan menghargai disiplin masing-masing.

2.2 Pengertian Filsafat

            Secara etimologis, filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Yunani. Dalam bahasa Inggris, yaitu “philosophy”, sedangkan dalam bahasa Yunani “philein atau “philos” dan “sofein” atau “sophi”. Ada pula yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu “filsafah yang artinya al-hikmah. Akan tetapi, kata tersebut pada awalnya berasal dari bahasa Yunani. “philos” artinya cinta, sedangkan “sophia” artinya kebijaksanaan. Oleh karena itu, filsafat dapat diartikan dengan cinta kebijaksanaan yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan al-hikmah. Para ahli filsafat disebut dengan filosof, yakni orang yang mencintai atau mencari kebijaksanaan atau kebenaran. Filosof bukan orang yang bijaksana atau berpekengetahuan benar, melainkan orang yang sedang belajar mencari kebenaran atau kebijaksanaan.

            Pencarian kebijaksanaan bermakna menelusuri hakikat dan sumber kebenaran. Alat untuk menemukan kebijaksanaan adaalah akal yang merupakan sumber primer dalam berpikir. Oleh karena itu, kebenaran filosofis tidak lebih dari kebeneran berpikir yang rasional dan radikal.

            Menurut Sutardjo A. Wiramihhardja (2006:10), filsafat dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang cara berpikir terhadap segala sesuatu. Artinya, semua materi pembicaraan filsafat adalah segala hal yang menyangkut keseluruhan yang bersifat universal. Dengan demikian, pencarian kebenaran filosofis tak pernah berujung dengan kepuasaan, apalagi memutlakan sebuah kebenaran. Bahkan untuk suatu yang sudah dianggap benar pun masih diragukan lagi kebenarannya. Tidak ada kata puas apalagi final karena kebenaran atau mengikuti situasi dan kondisi alam pikiran manusia.

            Filsafat, ratunya ilmu-ilmu, yang muncul tidak terlepas dari konteks kultural masyarakat dimana ia berkembang. Kritis, adalah kata kunci yang dipegang semua filosof sepanjang zaman. Bertrand Russel mendefinisikan filsafat sebagai “daerah tak bertuan” antara teologi dan ilmu pengetahuan, yang berisi spekulasi terhadap semesta, namun juga memiliki sifat rasionalitas dari otoritas.

1. Empat Pendekatan Filsafat

Penulis mengemukakan 4 (empat) cara atau pendekatan dalam mempelajari filsafat. Pendekatan tersebut adalah pendekatan definisi, sistematika, tokoh atau aliran dan sejarah. Melalui pendekatan definisi, seseorang memahami perbedaan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan dan teologi.

1.      Ilmu Pengetahuan: mengkaji sebatas gejala-gejala yang tampak dan berusaha menjelaskannya secara kausalistik

2.      Teologi: mengkaji semesta supra-inderawi, semesta ketuhanan namun dalam batas-batas keimanan

3.      Filsafat: upaya mencari atau memperoleh jawaban atas berbagai pertanyaan lewat penalaran sistematis yang kritis (tidak hanya pengkajian asumsi, dogmatis, tetapi terus bertanya untuk mencapai hakikatnya), radikal (mengkaji sampai ke akar-akarnya), refleksif (mengendapkan, mengola dan menghasilkan pengetahuan yang jernih) dan integral (menyeluruh).

Filsafat memiliki objek forma (sudut pandang yang diambil dalam menganalisis objek) berupa penalaran sistematis yang kritis, radikal, refleksif dan integral. Sementara objek materinya (objek yang dianalisis) berupa keseluruhan: manusia yang didudukkan dalam konteks yang paling luas.

2. Yunani Kuno

Pada periode ini, terjadi pergeseran pemikiran dari mitos ke logos, pemikiran irasional ke penjelasan logis berdasarkan rasio. Para filosof mncari penjelasan rasional atas prinsip dasar yang melandasi gejala-gejalan alam, yang selama ini terselubungi kabut mistis. Thales (585 SM), misalnya mengatakan air adalah arkhe (asas pertama) dari alam semesta. Filosof pada periode ini antara lain Anaximander (610-547 SM) dan Anaximenes (546 SM).

3. Filosof-filosof Manusia

Pada era ini, para filosof memfokuskan diri pada permasalahan manusia, bukan lagi pada alam semesta. Para filosof seperti Socrates (470-399 SM), Plato (429-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) banyak mengemukakan tentang bagaimana hidup bermasyarakat yang baik. Pada masa ini untuk pertama kali muncul disiplin Filsafat yang disebut etika. Phytagoras (580-500 SM) mengatakan bahwa filsafat tidak semata-mata kontemplasi terhadap alam, melainkan jalan keselamatan hidup, jiwa dibebaskan dari keterbelakangan badani menuju keselamatan (bersatunya dengan jiwa alam semesta).

4. Abad Pertengahan (300 – 1300 SM)

Pada masa ini, pemikiran bercirikan teosentris, berpusat pada kebenaran wahyu Tuhan. Filosof seperti Thomas Aquinas, St. Bonaventura adalah rohaniawan yang hendak merekonsiliasi akal dan wahyu. Mereka buktikan bahwa kebenaran wahyu tidak berbeda dengan kebenaran yang dihasilkan oleh akal. Atmosfer yang meliputi hampir semua pemikiran, memperlakukan akal sekedar hamba dari teologi. St. Augustinus tidak percaya akan kekuatan akal semata dalam mencapai kebenaran. Manusia tidak mampu mencapai pengetahuan sejati tanpa iluminasi kebeharan ilahi. Wahyu menjadi sumber kebenaran utama. Rasionalitas kehilangan otonominya, filsafat menjadi abdi dari teologi, dimana pemikiran filosofis digunakan untuk mendukung kebenaran wahyu. Pertentangan wahyu dan akan semakin menajam dan mengeras, bahkan para ilmuwan dieksekusi karena mewartakan kebenaran ilmiah yang tidak sesuai dengan kebenaran wahyu. Perkembangan ilmu pengetahuan surut.

5. Positivisme

Aliran empirisme mengalami puncaknya pada aliran filsafat positivisme. Filosof August Comte, mempelopori aliran ini, juga menciptakan istilah “sosiologi”, ilmu yang mengkaji masyarakat secara ilmiah. Positivisme, yang dominan pada awal abad 20-an, menetapkan kriteria2 yang harus dipenuhi oleh ilmu-ilmu manusia maupun alam. Kriteria tersebut adalah eksplanatoris dan prediktif. Pandangan positivism tersebut adalah:

1.      Objektif, teori ttg semesta harus bebas nilai

2.      Fenomenalisme, ilmu pengetahuan hanya berbicara pada semesta yang diamati, metafisis diabaikan

3.      Reduksionisme, semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati

4.      Naturalism, alam semesta adalah objek2 yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam

Pengaruh positivisme amat kuat terhadap berbagai disiplin ilmu dan berlangsung sampai sekarang. Positivisme mengenakan klaim-klaim berikut pada ilmu pengetahuan:

1.      Klaim kesatuan ilmu, ilmu2 manusia dan ilmu2 alam berada pada paying yang sama, yaitu paradigm positivisme.

2.      Klaim kesatuan bahasa. Bahasa perlu untuk memurnikan dari konsep-konsep metafisis dengan mengajukan parameter verifisikasi.

3.      Klaim kesatuan metode. Metode verifikasi bersifat universal, berlaku baik bagi ilmu-ilmu alam, maupun ilmu-ilmu manusia.

6. Alam Simbolis

Merupakan reaksi keras terhadap positivisme terutama pada asumsi kesatuan metode untuk, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu manusia. Positivisme memberikan beberapa dampak, antara lain:

1.    Mereduksi kekayaraan pengalaman manusia menjadi fakta-fakta empiris

2.    Prinsip bebas nilai, membuat ilmuwan menjadi robot-robot tak berperasaan

3.    Keringnya semesta dari kekayaan batin yang tak terhingga (di desakralisasi)

Positivisme mengasumsikan objek2 alam maupun manusia bergerak secara deterministik-mekanis.Manusia adalah benda mati yang bergerak, berdasarkan stimulans dan respon, rangsangan dan reaksi, sebab dan akibat. Menurut Ernest Cassirer, manusia adalah makhluk simbolik (animal simbolicum), yang memiliki substratum simbolik dalam benaknya, sehingga mampu memberikan jarak antara rangsangan dan tanggapan. Distansiasi (refleksi) tersebut melahirkan sistem-sistem simbolis seperti ilmu pengetahuan, seni, religi dan bahasa.

7. Postmodernisme

Postmodernisme adalah pemikiran mutahir yang muncul. Banyak orang menafsirkanpostmodernisme merupakan perkembangan dari modernisme, tetapi sebenarnya justru sangat “anti” terhadap ide-ide seperti kemajuan, emansipasi, linieritas sejarah dsb. Konsep-konsep ini ditentang oleh para pemikir posmo seperti Lyotard, Foucault dan Derrida. Sebenarnya, postmodernisme merupakan pergeseran wacana di berbagai bidang, seperti seni, arsitektur, sosiologi, literatur dan filsafat. Merupakan reaksi keras terhadap pemikiran modernisme yang terlampau mendewakan rasionalitas, jauh dari kekayaan dunia batin manusia. Para posmodernisme menyerang pilar-pilar filsafat modern, yang menjunjung tinggi rasionalitas dengan mengklaim dorongan-dorongan subjektif-irasional sebagai marjinal, the other. Posmodernisme, karena menentang hal-hal yang menyatukan, tidak bisa dikonseptualisasikan dalam satu definisi yang jelas dan terpilah. Mereka antikebenaran tunggal demi berkembangnya kebenaran-kebenaran partikular yang plural. Posmodernisme menjadi kritik yang paling mutakhir terhadap modernisme.

8. Epistemologi dan Filsafat Ilmu Pengetahuan

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan khususnya empat pokok persoalan pengetahuan seperti keabsahan, struktur, batas dan sumber. Berbeda dengan ontologi yang mengkaji apa yang ada, epistemologi mengkaji pengetahuan apa yang ada. Descartes, menganut ontologi dualisme, karena memetakan semesta menjadi 2 substansi ontologis yaitu res cogitans (kesadaran) dan res extensa (materi). Keyakinan ini membangun struktur subjek-objek dalam pemikiran epistemologisnya, dimana manusia sebagai subjek yang berhadapan dengan semesta sebagai objek.

Epistemologi dan filsafat pengetahuan muncul dari pertanyaan Kant: “Apa yang dapat saya ketahui”. Kedua cabang filsafat, sesungguhnya sama-sama mengkaji permasalahan seputar pengetahuan. Perbedaannya, epistemologi mengkaji pengetahuan dalam arti seluas-luasnya termasuk pengetahuan sehari-hari. Sedangkan filsafat ilmu pengetahuan, berurusan dengan pengetahuan ilmiah atau sains. Perbedaan ini melibatkan permasalahan metodologis, kebenaran antara ilmu pengetahuan dengan pengetahuan sehari-hari, dimana kebenaran sains memerlukan cara kerja yang ketat untuk memperolehnya.

 

 

 

 

 

2.3 Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Filsafat Ilmu Pengetahuan

FILSAFAT

ILMU PENGETAHUAN

FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

Menggunakan penalaran yang kritis, refleksif, dan integral

Menerangkan gejala-gejala secara ilmiah

Mencoba melakukan pendekatan kritis dan mendasar tentang pemerolehan ilmu pengetahuan, langkah-langkahnya untuk mecapai kebenaran ilmiah.

Tidak berhenti pada penampakan, tetapi secara kritis mencapai hakikatnya

Tujuannya mencoba menjelaskan gejala-gejala secara relasional

Mencoba mengkaji ilmu pengetahuan dari segi ciri-ciri dan cara memperolehnya

Objek kajian: semesta dalam arti seluas-luasnya.

Contoh: melihat manusia

Objek kajian begantung pada disiplin ilmu yang ada.

Contoh: disiplin ilmu biologi, sosiologi

Objek kajian: ilmu pengetahuan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ilmu secara umum dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang melekat pada manusia dimana iya dapat mengetahui sesuatu yang asalnya tidak ia ketahui. Salah satu contoh sederhana, umpamanya, sifilan hari kemarin tidak dapat mengerjakan pekerjaan rumah yang ditugaskan oleh dosennya, yakni soal matimatika nomor lima, setelah ia diberitahu oleh gurunya di kelas, baru ia dapat mengerjakan soal itu, dan sekarang si fulan dikatakan sudah mempunyai ilmu tentang soal matimatika tadi. Dari gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa secara umum ilmu berarti tahu. Ilmu itu adalah pengetahuan. Seseorang yang banyak ilmunya bisa dikatakan sebagai seorang ilmuwan, ulama, ahli pengetahuan dan lain sebagainya.

Menurut Sutardjo A. Wiramihhardja (2006:10), filsafat dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang cara berpikir terhadap segala sesuatu. Artinya, semua materi pembicaraan filsafat adalah segala hal yang menyangkut keseluruhan yang bersifat universal. Dengan demikian, pencarian kebenaran filosofis tak pernah berujung dengan kepuasaan, apalagi memutlakan sebuah kebenaran. Bahkan untuk suatu yang sudah dianggap benar pun masih diragukan lagi kebenarannya.

 

3.2 Saran

Demikianlah makalah ini disampaikan dalam mata kuliah Filsafat Ilmu, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kekeliruan yang digunakan maupun susunan bahasanya, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan.

 

 

 

                                                           

 

DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Atang Abdul & Saebani, Beni Ahmad. 2008. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia

Praja, S. Juhaya. 2003. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana

Hume, David. “Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan”. Diunduh pada tanggal 4 April 2019 Dari https://blogs.itb.ac.id pdf

 

 

 

 

 

 

 


No comments:

Post a Comment

TOKOH TASAWUF DI INDONESIA

BAB II PEMBAHASAN A.     TOKOH TASAWUF DI INDONESIA Berikut merupakan beberapa tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia: 1.       Hamzah Fan...