PERBEDAAN
FILSAFAT, PENGETAHUAN ILMU DAN FILSAFAT
DAFTAR ISI
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
2.3
Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Filsafat Ilmu Pengetahuan
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Kajian utama filsafat, sebagaimana
berkaitan dnegan masalah ilmu dan pengetahuan atau tahu, mengetahui, dan
pengetahuan. Maksudnya adalah memikirkan segala hakikat pengetahuan atau hakikat keberadaan segala
sesuatu yang bersifat fisikal maupun metafisikal. Objek penyeledikan filsafat
akan terus bekerja hingga masalah yang dikajinya ditemukan sampai keakarnya.
Bahkan, filsafat baru nampakkan hasil kerjanya manakala ilmu pengetahuan telah
berhenti penyelidikannya, yakni ketika ilmu tidak mampu memberi jawaban atas masalah
yang dikajinya. Oleh karena itu, ciri khas filsafat tidak dimiliki oleh ilmu
pengetahuan sebagaimana sebaliknya, bahwa ilmu pengetahuan memiliki khas yang
tidak dimiliki oleh filsafat.
1.
Apa defenisi dari ilmu itu?
2. Apa pengertian dari filsafat?
3. Apa
saja yang menjadi perbedaan filsafat, ilmu pengetahuan, dan filsafat ilmu
pengetahuan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi dari ilmu
2. Untuk mengetahui armti dari filsafat
3. Untuk mengetahui perbedaan filsafat,
ilmu pengetahuan, dan filsafat ilmu pengetahuan?
Ilmu
secara umum dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang melekat pada manusia
dimana iya dapat mengetahui sesuatu yang asalnya tidak ia ketahui. Salah satu
contoh sederhana, umpamanya, sifilan hari kemarin tidak dapat mengerjakan
pekerjaan rumah yang ditugaskan oleh dosennya, yakni soal matimatika nomor
lima, setelah ia diberitahu oleh gurunya di kelas, baru ia dapat mengerjakan
soal itu, dan sekarang si fulan dikatakan sudah mempunyai ilmu tentang soal
matimatika tadi. Dari gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa secara umum ilmu
berarti tahu. Ilmu itu adalah pengetahuan. Seseorang yang banyak ilmunya bisa
dikatakan sebagai seorang ilmuwan, ulama, ahli pengetahuan dan lain sebagainya.
Pada
dasarnya pengetahuan mempunyai tiga kriteria yaitu:
a.Adanya
suatu sistem gagasan dalam pikiran.
b.Persesuaian
antara gagasan itu dengan benda-benda sebenarnya.
c.Adanya
keyakinan tantang persesuain itu.
Kebanyakan
orang memperoleh pengetahuan dari pengalaman yang diperoleh melalui indera yang
ia miliki. Dengan inderanya ia mengenal hal-hal yang ada di sekitarnya. Ia tahu
akan panasnya api dan dinginnya es. Ia tahu akan adanya malam dan siang dan
masih banyak lagi pengetahuan yang ia dapatkan memalui indera yang dimilikinya.
Ia berjalan menurut metode tertentu, karena itu pengetahuan disebut mempunyai
metode-metodenya atau approach (pendekatan). Pendekatan disini berarti sekumpulan
dari teori, metode dan teknik penelitihan. Manusia terus berupaya agar
pengetahuannya itu sesuai dengan objeknya, serta hasil-hasilnya dikumpulkan
dengan susunan tertentu pula sehingga semuanya itu merupakan keseluruhan yang
tersusun dengan teratur. Ilmu adalah pengetahuan yang sistematis pengetahuan yang sistematis.
Pengetahuan
yang kian hari kian bertambah ini, pada dasarnya bersumber kepada tiga macam
sumber, yaitu:
1.Pengetahuan
yang langsung di peroleh.
2.
Hasil dari suatu konklusi.
3.Pengetahuan
yang di peroleh dari kesaksian dan otoritas.
Pengetahuan
langsung diperoleh dari dua sumber:sumber external (luar) dan sumber internal
(luar) dan sumber internal (dalam). Contoh
yang pertama, umpamanya kita ketahui adanya api di depan kita melalui alat
indera pengelihatan kita. Contoh pengetahuan yang bersumber dari dalam, umpamanya
kita dapat mengetahui keadaan diri kita sekarang keadaan sedih, gembira atau
marah.
Pengetahuan
konklusi ialah pengetahuan yang diperoleh melalui penarikan kesimpulan dari
data empirik atau inderawi, seperti apabila kita tahu bahwa diatas sebuah
gedung (yang tampak didepan kita) ada kepulan asap. Kita tahu bahwa setiap ada
asap pasti ada api yang sedang menyala. Dengan demikia kita mengambil konklusi
bahwa di atas gunung itu ada api yang menyala.
Pengetahuan
kesaksian dan otoritas adalah pengetahuan yang diperoleh melalui kesaksian
dari orang lain atau berita orang yang bisa dipercaya. Contohnya, kita
mengetahui adanya Tuhan melalui para rasul dan kitab-kitab-Nya. Kita pergi
berobat kepada seseorang dokter yang kita percayai. Ia memberikan resep untuk
dibeli di apotek. Kita tidak mengetahui secara ilmiah apakah obat itu memang
menyembuhkan penyakit kita atau tidak. Tetapi, kita tidak ragu membeli obat dan
meminumnnya walaupun kita tidak pernah meneliti dan mengetahui secara pasti
kemujaraban obat tersebut. Kebenaran resep dokter itu kita terima saja sebagai
kebenaran dengan keyakinan bahwa obat itu akan menyembuhkan penyakit kita.
Kebenaran seperti ini didasarkan atas kebenaran otoritatif dari seorang dokter
yang terpercaya dan memiliki otoritas untuk mengobati orang sakit.
Pengetahuan
yang diperoleh melalui indera disebut dengan pengetahuan inderawi. Setelah
diadakan penyelidikan dan eksperimen. Maka ilmu tersebut sekarang menjadi ilmu
pengetahuan (science). Apabila
sesuatu sudah dapat diketahui oleh
indera, dieksperimen dan diteliti. Maka disana orang mulai berfilsafat.
Filsafat ini satu tahap lebih tinggi dari pengetahuan biasa. Karena para filsuf
sudah mulai memikirkan hakikat sesuatu seperti hakikat dari Tuhan alam dan
manusia.
Manusia sudah lelah dalam usahanya
sekuat tenaga untuk menemukan hakikat dari ketiga soal tadi (Tuhan, alam dan
manusia). Kiranya kemampuan berfikir
mereka masih sangat terbatas. Konsep dari ketiga persoalan tadi dapat kita
temukan, tapi tidak ada kata sepakat mengenai hakikat masing-masing. Disinilah
letak kelemahan daya pikir manusia, dan nyatalah bahwa ilmu manusia hanya
sedikit saja (lihat aliran-aliran Qur’an, al-Isra” ayat 85).
Lalu
apakah agama atau ilmukah yang dapat merampungkan persoalan yang ketiga tadi?
Jawabannya tidak lain ialah agama melalui pintu keyakinan dan keimanan.
Titik
temu antara ilmu dan filsafat
Ada beberapa hal dimana filsafat dan
ilmu pengetahuan dapat saling bertemu. Dalam beberapa abad terakhir, filsafat
telah mengembangkan kerja sama yang baik dengan ilmu pengetahuan. Banyak
diantara filsuf terkenal yang telah memberikan kontribusinya kepada sains.
Sebagai contoh Leibniz ikut serta dalam penemuan “hitungan differensial”. Filsafat
dan ilmu pengetahuan kedua-duanya menggunakan metode pemikiran reflektif dalam
usaha untuk menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan. Keduanya menunjukkan
sikap kritik dengan pikiran terbuka dan kemauan yang tidak memihak untuk
mengetahui hakikat kebenaran. Mereka berkepentingan untuk mendapatkan
pengetahuan yang teratur.
Ilmu membekali filsafat dengan
bahan-bahan yang deskriptif dan faktual yang sangat penting untuk membangun
filsafat. Tiap filsuf dari suatu periode lebih condong untuk merefleksikan
pandangan ilmiah pada periode tertentu. Sementara itu, ilmu pengetahuan
melakukan pengecekan terhadap filsafat, dengan menghilangkan ide-ide yang tidak
sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
Filsafat mengambil pengetahuan yang
terpotong-potong dari berbagai ilmu, kemudian mengaturnya dalam pandangan hidup
yang lebih sempurna dan terpadu. Dalam hubungan ini, kemajuan ilmu pengetahuan
telah mendorong kita untuk menengok kembali ide-ide dan interprestasi kita baik
itu dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang-bidang lain. Sebagai
salah satu contoh, konsep evolusi mendorong kita untuk meninjau kembali
pemikiran kita hampir dalam segala bidang. Kontribusi yang lebih jauh yang
diberikan filsafat terhadap ilmu pengetahuan adalah kritik tentang asumsi
postulat ilmu dan analisa kritik tentang istilah-istilah yang dipakai.
Ilmu dan filsafat kedua-keduanya
memberikan penjelasan-penjelasan dan arti-arti dari objeknya masing-masing.
Orang lebih menekankan lebih pentingnya deskripsi, hukum-hukum, fenomena dan
hubungan sebab musabab. Filsafat mementingkan hubungan-hubungan antara
fakta-fakta khusus dengan bagian yang lebih besar. Ilmu menggunakan pengamatan,
eksperimen dan pengalaman, sedangkan filsafat berusaha mengubungkan
penemuan-penemuan ilmu dengan maksud menemukan hakikat kebenarannya.
Mari kita tegaskan bahwa perbedaan
antara ilmu dan filsafat dalam bagian yang besar adalah perbedaan dan
penekanan. Ilmu lebih menekankan kebenaran yang bersifat logis dan objektif.
Filsafat bersifat radikal dan subjektif. Ilmu bisa berjalan mengadakan
penelitian selama objeknya bisa diindera, dianalisis dan dieksperimen maka
berhentilah ilmu sampai disitu. Sedangkan, filsafat justru mulai bekerja
manakala ilmu sudah tidak bisa berbicara apa-apa tentang suatu objek. Sekalipun
demikian, bukan berarti ilmu tidak penting bagi filsafat, justru filsafat pun
bekerja dengan bantuan ilmu. Banyak filsuf yang mendapat pendidikan tentang
metode ilmiah dan mereka saling memupuk perhatian dalam beberapa disiplin ilmu.
Baik filsuf maupun ahli ilmu kedua-duanya mendapat gambaran yang lebih luas,
jika mereka saling memahami dan menghargai disiplin masing-masing.
Secara etimologis, filsafat berasal
dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Yunani. Dalam bahasa Inggris,
yaitu “philosophy”, sedangkan dalam bahasa Yunani “philein atau “philos” dan
“sofein” atau “sophi”. Ada pula yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari
bahasa Arab, yaitu “filsafah yang artinya al-hikmah. Akan tetapi, kata tersebut
pada awalnya berasal dari bahasa Yunani. “philos” artinya cinta, sedangkan
“sophia” artinya kebijaksanaan. Oleh karena itu, filsafat dapat diartikan
dengan cinta kebijaksanaan yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan
al-hikmah. Para ahli filsafat disebut dengan filosof, yakni orang yang
mencintai atau mencari kebijaksanaan atau kebenaran. Filosof bukan orang yang
bijaksana atau berpekengetahuan benar, melainkan orang yang sedang belajar
mencari kebenaran atau kebijaksanaan.
Pencarian kebijaksanaan bermakna
menelusuri hakikat dan sumber kebenaran. Alat untuk menemukan kebijaksanaan
adaalah akal yang merupakan sumber primer dalam berpikir. Oleh karena itu,
kebenaran filosofis tidak lebih dari kebeneran berpikir yang rasional dan
radikal.
Menurut Sutardjo A. Wiramihhardja
(2006:10), filsafat dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang cara berpikir
terhadap segala sesuatu. Artinya, semua materi pembicaraan filsafat adalah
segala hal yang menyangkut keseluruhan yang bersifat universal. Dengan
demikian, pencarian kebenaran filosofis tak pernah berujung dengan kepuasaan,
apalagi memutlakan sebuah kebenaran. Bahkan untuk suatu yang sudah dianggap
benar pun masih diragukan lagi kebenarannya. Tidak ada kata puas apalagi final
karena kebenaran atau mengikuti situasi dan kondisi alam pikiran manusia.
Filsafat, ratunya
ilmu-ilmu, yang muncul tidak terlepas dari konteks kultural masyarakat dimana
ia berkembang. Kritis, adalah kata kunci yang dipegang semua filosof sepanjang
zaman. Bertrand Russel mendefinisikan filsafat sebagai “daerah tak bertuan”
antara teologi dan ilmu pengetahuan, yang berisi spekulasi terhadap semesta,
namun juga memiliki sifat rasionalitas dari otoritas.
1. Empat Pendekatan Filsafat
Penulis mengemukakan 4 (empat) cara atau
pendekatan dalam mempelajari filsafat. Pendekatan tersebut adalah pendekatan
definisi, sistematika, tokoh atau aliran dan sejarah. Melalui pendekatan definisi,
seseorang memahami perbedaan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan dan
teologi.
1. Ilmu
Pengetahuan: mengkaji sebatas gejala-gejala yang tampak dan berusaha
menjelaskannya secara kausalistik
2. Teologi:
mengkaji semesta supra-inderawi, semesta ketuhanan namun dalam batas-batas
keimanan
3. Filsafat:
upaya mencari atau memperoleh jawaban atas berbagai pertanyaan lewat penalaran sistematis
yang kritis (tidak hanya pengkajian asumsi, dogmatis, tetapi terus bertanya
untuk mencapai hakikatnya), radikal (mengkaji sampai ke akar-akarnya),
refleksif (mengendapkan, mengola dan menghasilkan pengetahuan yang jernih) dan
integral (menyeluruh).
Filsafat memiliki objek forma (sudut
pandang yang diambil dalam menganalisis objek) berupa penalaran sistematis yang
kritis, radikal, refleksif dan integral. Sementara objek materinya (objek yang
dianalisis) berupa keseluruhan: manusia yang didudukkan dalam konteks yang
paling luas.
2. Yunani Kuno
Pada periode ini, terjadi pergeseran
pemikiran dari mitos ke logos, pemikiran irasional ke penjelasan logis
berdasarkan rasio. Para filosof mncari penjelasan rasional atas prinsip dasar
yang melandasi gejala-gejalan alam, yang selama ini terselubungi kabut mistis.
Thales (585 SM), misalnya mengatakan air adalah arkhe (asas pertama) dari alam
semesta. Filosof pada periode ini antara lain Anaximander (610-547 SM) dan
Anaximenes (546 SM).
3. Filosof-filosof Manusia
Pada
era ini, para filosof memfokuskan diri pada permasalahan manusia, bukan lagi
pada alam semesta. Para filosof seperti Socrates (470-399 SM), Plato (429-347
SM) dan Aristoteles (384-322 SM) banyak mengemukakan tentang bagaimana hidup
bermasyarakat yang baik. Pada masa ini untuk pertama kali muncul disiplin
Filsafat yang disebut etika. Phytagoras (580-500 SM) mengatakan bahwa filsafat
tidak semata-mata kontemplasi terhadap alam, melainkan jalan keselamatan hidup,
jiwa dibebaskan dari keterbelakangan badani menuju keselamatan (bersatunya
dengan jiwa alam semesta).
4.
Abad Pertengahan (300 – 1300 SM)
Pada
masa ini, pemikiran bercirikan teosentris, berpusat pada kebenaran wahyu Tuhan.
Filosof seperti Thomas Aquinas, St. Bonaventura adalah rohaniawan yang hendak
merekonsiliasi akal dan wahyu. Mereka buktikan bahwa kebenaran wahyu tidak
berbeda dengan kebenaran yang dihasilkan oleh akal. Atmosfer yang meliputi
hampir semua pemikiran, memperlakukan akal sekedar hamba dari teologi. St.
Augustinus tidak percaya akan kekuatan akal semata dalam mencapai kebenaran.
Manusia tidak mampu mencapai pengetahuan sejati tanpa iluminasi kebeharan
ilahi. Wahyu menjadi sumber kebenaran utama. Rasionalitas kehilangan
otonominya, filsafat menjadi abdi dari teologi, dimana pemikiran filosofis
digunakan untuk mendukung kebenaran wahyu. Pertentangan wahyu dan akan semakin
menajam dan mengeras, bahkan para ilmuwan dieksekusi karena mewartakan kebenaran
ilmiah yang tidak sesuai dengan kebenaran wahyu. Perkembangan ilmu pengetahuan
surut.
5.
Positivisme
Aliran
empirisme mengalami puncaknya pada aliran filsafat positivisme. Filosof August
Comte, mempelopori aliran ini, juga menciptakan istilah “sosiologi”, ilmu yang
mengkaji masyarakat secara ilmiah. Positivisme, yang dominan pada awal abad
20-an, menetapkan kriteria2 yang harus dipenuhi oleh ilmu-ilmu manusia maupun
alam. Kriteria tersebut adalah eksplanatoris dan prediktif. Pandangan
positivism tersebut adalah:
1. Objektif,
teori ttg semesta harus bebas nilai
2. Fenomenalisme,
ilmu pengetahuan hanya berbicara pada semesta yang diamati, metafisis diabaikan
3. Reduksionisme,
semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati
4. Naturalism,
alam semesta adalah objek2 yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam
Pengaruh
positivisme amat kuat terhadap berbagai disiplin ilmu dan berlangsung sampai
sekarang. Positivisme mengenakan klaim-klaim berikut pada ilmu pengetahuan:
1. Klaim
kesatuan ilmu, ilmu2 manusia dan ilmu2 alam berada pada paying yang sama, yaitu
paradigm positivisme.
2. Klaim
kesatuan bahasa. Bahasa perlu untuk memurnikan dari konsep-konsep metafisis
dengan mengajukan parameter verifisikasi.
3. Klaim
kesatuan metode. Metode verifikasi bersifat universal, berlaku baik bagi
ilmu-ilmu alam, maupun ilmu-ilmu manusia.
6.
Alam Simbolis
Merupakan
reaksi keras terhadap positivisme terutama pada asumsi kesatuan metode untuk,
baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu manusia. Positivisme memberikan beberapa
dampak, antara lain:
1. Mereduksi
kekayaraan pengalaman manusia menjadi fakta-fakta empiris
2. Prinsip
bebas nilai, membuat ilmuwan menjadi robot-robot tak berperasaan
3. Keringnya
semesta dari kekayaan batin yang tak terhingga (di desakralisasi)
Positivisme
mengasumsikan objek2 alam maupun manusia bergerak secara deterministik-mekanis.Manusia
adalah benda mati yang bergerak, berdasarkan stimulans dan respon, rangsangan
dan reaksi, sebab dan akibat. Menurut Ernest Cassirer, manusia adalah makhluk
simbolik (animal simbolicum), yang memiliki substratum simbolik dalam benaknya,
sehingga mampu memberikan jarak antara rangsangan dan tanggapan. Distansiasi
(refleksi) tersebut melahirkan sistem-sistem simbolis seperti ilmu pengetahuan,
seni, religi dan bahasa.
7.
Postmodernisme
Postmodernisme
adalah pemikiran mutahir yang muncul. Banyak orang menafsirkanpostmodernisme
merupakan perkembangan dari modernisme, tetapi sebenarnya justru sangat “anti”
terhadap ide-ide seperti kemajuan, emansipasi, linieritas sejarah dsb.
Konsep-konsep ini ditentang oleh para pemikir posmo seperti Lyotard, Foucault
dan Derrida. Sebenarnya, postmodernisme merupakan pergeseran wacana di berbagai
bidang, seperti seni, arsitektur, sosiologi, literatur dan filsafat. Merupakan
reaksi keras terhadap pemikiran modernisme yang terlampau mendewakan rasionalitas,
jauh dari kekayaan dunia batin manusia. Para posmodernisme menyerang
pilar-pilar filsafat modern, yang menjunjung tinggi rasionalitas dengan
mengklaim dorongan-dorongan subjektif-irasional sebagai marjinal, the other. Posmodernisme,
karena menentang hal-hal yang menyatukan, tidak bisa dikonseptualisasikan dalam
satu definisi yang jelas dan terpilah. Mereka antikebenaran tunggal demi
berkembangnya kebenaran-kebenaran partikular yang plural. Posmodernisme menjadi
kritik yang paling mutakhir terhadap modernisme.
8.
Epistemologi dan Filsafat Ilmu Pengetahuan
Epistemologi
merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan khususnya empat
pokok persoalan pengetahuan seperti keabsahan, struktur, batas dan sumber.
Berbeda dengan ontologi yang mengkaji apa yang ada, epistemologi mengkaji
pengetahuan apa yang ada. Descartes, menganut ontologi dualisme, karena
memetakan semesta menjadi 2 substansi ontologis yaitu res cogitans (kesadaran)
dan res extensa (materi). Keyakinan ini membangun struktur subjek-objek dalam
pemikiran epistemologisnya, dimana manusia sebagai subjek yang berhadapan
dengan semesta sebagai objek.
Epistemologi
dan filsafat pengetahuan muncul dari pertanyaan Kant: “Apa yang dapat saya
ketahui”. Kedua cabang filsafat, sesungguhnya sama-sama mengkaji permasalahan
seputar pengetahuan. Perbedaannya, epistemologi mengkaji pengetahuan dalam arti
seluas-luasnya termasuk pengetahuan sehari-hari. Sedangkan filsafat ilmu
pengetahuan, berurusan dengan pengetahuan ilmiah atau sains. Perbedaan ini
melibatkan permasalahan metodologis, kebenaran antara ilmu pengetahuan dengan
pengetahuan sehari-hari, dimana kebenaran sains memerlukan cara kerja yang
ketat untuk memperolehnya.
2.3
Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Filsafat Ilmu Pengetahuan
FILSAFAT |
ILMU PENGETAHUAN |
FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN |
Menggunakan
penalaran yang kritis, refleksif, dan integral |
Menerangkan
gejala-gejala secara ilmiah |
Mencoba melakukan
pendekatan kritis dan mendasar tentang pemerolehan ilmu pengetahuan, langkah-langkahnya
untuk mecapai kebenaran ilmiah. |
Tidak
berhenti pada penampakan, tetapi secara kritis mencapai hakikatnya |
Tujuannya
mencoba menjelaskan gejala-gejala secara relasional |
Mencoba
mengkaji ilmu pengetahuan dari segi ciri-ciri dan cara memperolehnya |
Objek
kajian: semesta dalam arti seluas-luasnya. Contoh:
melihat manusia |
Objek
kajian begantung pada disiplin ilmu yang ada. Contoh:
disiplin ilmu biologi, sosiologi |
Objek
kajian: ilmu pengetahuan |
Ilmu
secara umum dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang melekat pada manusia
dimana iya dapat mengetahui sesuatu yang asalnya tidak ia ketahui. Salah satu
contoh sederhana, umpamanya, sifilan hari kemarin tidak dapat mengerjakan pekerjaan
rumah yang ditugaskan oleh dosennya, yakni soal matimatika nomor lima, setelah
ia diberitahu oleh gurunya di kelas, baru ia dapat mengerjakan soal itu, dan
sekarang si fulan dikatakan sudah mempunyai ilmu tentang soal matimatika tadi.
Dari gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa secara umum ilmu berarti tahu.
Ilmu itu adalah pengetahuan. Seseorang yang banyak ilmunya bisa dikatakan
sebagai seorang ilmuwan, ulama, ahli pengetahuan dan lain sebagainya.
Menurut
Sutardjo A. Wiramihhardja (2006:10), filsafat dapat diartikan sebagai
pengetahuan tentang cara berpikir terhadap segala sesuatu. Artinya, semua
materi pembicaraan filsafat adalah segala hal yang menyangkut keseluruhan yang
bersifat universal. Dengan demikian, pencarian kebenaran filosofis tak pernah
berujung dengan kepuasaan, apalagi memutlakan sebuah kebenaran. Bahkan untuk
suatu yang sudah dianggap benar pun masih diragukan lagi kebenarannya.
Demikianlah makalah ini disampaikan dalam mata kuliah Filsafat Ilmu,
penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kekeliruan yang digunakan
maupun susunan bahasanya, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sangat diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Atang Abdul & Saebani, Beni Ahmad. 2008. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia
Praja, S. Juhaya. 2003. Aliran-Aliran
Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana
Hume, David. “Menyoal
Objektivisme Ilmu Pengetahuan”. Diunduh pada tanggal 4 April 2019 Dari https://blogs.itb.ac.id pdf
No comments:
Post a Comment