SEJARAH TRADISI TULISAN DI DUNIA ARAB SEBELUM ISLAM
DAFTAR ISI
Hal
KATA
PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR
ISI ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ........................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah .................................................................................. 1
C.
Kerangka Teori ....................................................................................... 2
BAB II TRADISI TULISAN DI DUNIA ARAB SEBELUM ISLAM
A.
Masyarakat Arab
Pra-Islam .................................................................... 3
B.
Tulisan Arab
Pra-Islam ........................................................................... 10
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan..............................................................................................
15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masa sebelum kedatangan islam
dikenal dengan zaman jahiliyah. Dalam islam periode jahiliyah dianggap sebagai
suatu kemunduran dalam kehidupan beragama. pada saat itu masyarakat Arab
jahiliyah mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk seperi meminum minuman keras,
berjudi dan menyembah berhala. Namun, tidak berarti bahwa catatan tertulis
tidak diketahui di Negara Arab sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW.
Sejarah
kepustakawanan di belahan dunia mana pun berasal dari tradisi tulisan yang berlangsung di suatu masyarakat. Berdirinya perpustakaan berawal dari tradisi
penulisan berbagai peristiwa yang dilestarikan dalam suatu
media yang lazimnya disebut sebagai suatu dokumen, baik
dalam bentuk tercetak maupun non cetak. Oleh
karena itu, untuk mengenal sejarah
kepustakawanan di dunia Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan tradisi tulisan yang
berlangsung di dunia Islam, terutama
pada masa kelahiran Islam.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana keadaan
masyarakat Arab pra-Islam dalam mengenal tulisan?
2.
Bagaimana
perkembangan tulis-menulis masyarakat di daerah zajirah Arab ?
3.
Bagaimana
bentuk-bentuk tulisan masyarakat Arab Sebelum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masyarakat
Arab Pra
Islam
Sejarah
geografi dunia Arab sebelum kelahiran islam dibedakan ke dalam dua bagian,
yaitu dunia Arab di wilayah bagian Selatan dan dunia Arab di wilayah bagian
Utara . Dalam banyak literatur sejarah Islam,
orang-orang Badui atau
masyarakat Arab Utara-lah yang paling dominan dibahas yang disebutnya sebagai
masyarakat jahiliyah, masyarakat terbelakang. Bangsa Arab sebelum
kedatangan Islam, sekalipun dikenal
sebagai bangsa Jahiliyah dan masyarakatnya buta huruf (ummi), pada kalangan atau kelompok tertentu terdapat
orang orang yang telah
mengenal tulisan.
Keadaan
buta huruf melekat bagi suku Quraisy. Hanya ada beberapa orang saja yang belajar
menulis. Kalangan Quraisy
belajar menulis dari seorang bernama Harb ibn Ummayyah ibn Abd Syams. Al-ZarQani
mengutip pendapat Abu Amr al-dani bahwa Harb belajar menulis dari Abdullah ibn
Jad’an. Diriwayatkan bahwa Jad’an adalah warga Anbar. Warga Anbar sendiri
belajar menulis dari seorang yang muncul di Kandah dan berasal dari Yaman.
Adapun pengajarnya adalah al-Khaljan ibn al-Mu’min, sekretaris Nabi Hud. Jauh
sebelum Al-ZarQani, Al-Zarkasi, mengutip riwayat yang menyebabkan
jika penulisan Arab pertama dilakukan oleh nabi Adam dan Ismail.
Bangsa
Arab khususnya, Arab bagian Utara dikenal tidak mempunyai budaya tulis. Meski
demikian, sebelum kelahiran nabi Muhammad SAW , perlahan orang-orang Arab
Utara mulai mengembangkan budaya tulis.
Hal ini dibuktikan dengan temuan tulisan Arab pra- Islam yakni tulisan Zabad
disebelah Tenggara Aleppo (521), Harran di Laja (568). Bangsa Arab pra-islam
yang dikenal dengan seni puisinya juga memberi pengaruh terhadap budaya
menulis. Di Ukaz, sebuah tempat di daerah Hijaz terdapat festival bagi para
penyair dalam berpuisi. Puisi yang mendapat penghargaan kemudian ditulis dengan
tinta emas kemudian ditempel di dinding-dinding Ka’bah.[1]
Dalam
penyebaran tulisan, orang-orang Kristen juga mempunyai peran dalam
memperkenalkan tulisan kepada bangsa Arab.
Ada sebuah laporan yang menyatakan bahwa Khusrau, Raja Persia, pernah
meminta seorang penyair Kristen, Adi Ibn Zayd, untuk merancang surat surat
dalam bahasa Arab.[2]
Kalau laporan ini dapat dipercaya, tampaknya bahasa Arab sudah digunakan dalam
korespondensi administrasi pada abad ke-6 di Irak. Ini merupakan hal yang luar
biasa jika orang-orang Makkah, yang tanahnya cukup tandus karenanya harus
bergantung pada apa yang dapat mereka peroleh dari luar lewat perdagangan, bisa
makmur dengan bantuan yang diberikan
oleh kehidupan bisnis yang menjadikan tulisan sebagai sarananya.
1.
Masyarakat Jahiliyah
Menurut Prof. K.
Ali dalam buku Perpustakaan Islam karangan Agus Rifa’i,
seorang sejarawan Muslim asal Pakistan,
dunia Arab atau
ia menyebutnya Arabia merupakan wilayah
padang pasir paling luas dan paling gersang di dunia. Arabia terletak di bagian
barat daya Asia. Sebutan jazirah Arabia (kepulauan Arabia)
menurutnya, karena negeri Arabia dikeilingi laut pada ketiga sisinya. Sedangkan Ahmad
Syalabi menyebutnya semenanjung
atau sibhul
Jazirah (bukan jazirah) Arabia. Karena menurutnya tidak semua sisinya
tersebut dikelilingi oleh laut, yaitu di sebelah Barat berbatasan dengan Laut Merah, di sebelah selatan berbatasan dengan
Lautan Hindia, dan di sebelah Timur
berbatasan dengan Teluk Arab (Teluk Parsi), dan di
sebelah Utara berbatasan
dengan Gurun Iraq, Gurun Syam (Gurun Syiria). [3]
Masyarakat
wilayah Arabia bagian
Utara dikenal dengan penduduk Padang Pasir, sedangkan masyarakat wilayah Selatan
dikenal dengan sebutan penduduk negeri. Mereka adalah penduduk
yang mempunyai peradaban
yang lebih
maju dibanding penduduk gurun pasir atau
Badui. Penduduk negeri atau penduduk kota ini mempunyai tempat
tinggal tetap, telah mengenal cara
bertani,
cara berdagang, dan bahkan sampai berhubungan dengan wilayah luar negeri.
Berbeda dengan
masyarakat Arab Selatan,
orang-orang Arab Utara yang disebut sebagai penduduk Badui
atau gurun pasir sebelum
kedatangan Islam, belum
mencapai tingkat kemajuan dan
mengembangkan peradaban sebagaimana yang dicapai oleh orang-orang Arab Selatan. Mereka
mempunyai pola hidup yang
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Di tengah perjalanan, mereka
biasanya beristirahat dan mendirikan
perkemahan atau tenda. Mereka belum mengenal pertanian, perdagangan, dan tidak
memiliki keahlian dalam pekerjaan
tertentu. Mengendarai unta, menggembala domba dan
keledai, berburu dan menyerbu yang dianggap musuh menjadi
kebiasaan sehari-hari.
Orang-orang
Badui atau masyarakat Arab Utara
paling dominan disebutn sebagai masyarakat jahiliyah,
masyarakat terbelakang. Sebutan jahiliyah itu mungkin tepat untuk suku-suku di Arab Utara.
Sebutan jahiliyah itu sendiri karena mereka pada umumnya
hidup dalam keterbelakangan secara
ekonomi, sosial politik,
dan kultural keagamaan. Secara
ekonomi, masyarakat Arab terutama Arab Utara pada umumnya berada dalam kondisi
perekonomian yang sangat
rendah.[4]
Mereka umumnya hidup dalam penderitaan dan kemiskinan, hanya
beberapa keluarga saja dari kelompok Bangsawan
yang mempunyai kehidupan ekonomi yang cukup
seperti keluarga Usman dan keluarga Abu Bakar. Sistem
ekonomi rentenir (riba) juga
menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat Arab. Secara sosial dan politik,
masyarakat Arab merupakan masyarakat
yang terpecah-pecah dalam suku-suku atau kelompok-kelompok,
tidak terdapat suatu pemerintahan yang mengorganisasikan mereka dalam satu
kekuasaan. Di antara suku dengan yang
lain selalu diwarnai
dengan pertentangan atau perkelahian dalam rangka memperoleh kekuasaan untuk menjadi yang
terkuat. Tidak terdapat
sistem hukum yang mengikat mereka kecuali kesetian pada kelompok atau
pimpinan suku. Hukum yang berlaku adalah
hukum rimba di mana yang kuat akan menindas yang lemah.
Orang-orang Arab Utara mengalami
kemerosotan moral yang
menimbulkan berbagai penyakit sosial. mereka
mempunyai kebiasan
yang negatif yaitu memanjakan dan membanggakan minuman keras (arak). Bahkan kalau berjudi
mereka sampai merelakan
keluarga sebagai taruhannya. Kebiasan berzina atau hidup dengan wanita-wanita
tanpa ikatan pernikahan telah menjadi
tradisi di kalangan bangsa Arab. Dalam hal kehidupan agama, bangsa Arab
tenggelam dalam paganisme (menyembah
berhala atau patung) yang rendah, dan politeisme
(syirik).
Meskipun demikian,
bangsa Arab memiliki karakteristik istimewa
dibanding bangsa-bangsa lainnya, yaitu mempunyai kemampuan berbicara yang
fasih (lancar) dan komunikatif, mencintai
kebebasan, menjunjung tinggi harga diri, terampil berkuda, pemberani,
fanatik membela keyakinan (aqidah),
suka berterus
terang, kuat ingatan, mencintai persamaan, mempunyai ambisi atau kemauan yang
kuat, tulus, dan terpercaya.
Demikianlah
kondisi bangsa Arab sebelum kelahiran agama Islam. Di balik keistimewaan watak atau
karakteristik yang dimilikinya,
bangsa Arab dalam realitas kehidupannya mengalami kemerosotan di dalam
berbagai segi kehidupan sehingga mereka terutama di wilayah Arab Utara dikenal
sebagai bangsa yang ak berperadaban
atau tazim disebut sebagai masyarakat jahiliyah.
2.
Masyarakat Ummi (Buta Huruf)
Seperti disebutkan
sebelumnya, bangsa Arab sebelum kelahiran
agama Islam dikenal dengan bangsa jahiliyah,
bangsa yang terbelakang, bangsa yang diliputi kebodohan, keterbelakangan atau
kebodohan ini mencakup berbagai aspek
kehidupan, termasuk di antaranya adalah
keterbelakangan dalam hal
ilmu pengetahuan dan kemampuan baca tulis. Oleh karena itulah mereka disebut
sebagai ummat ummi’ masyarakat
yang tak memiliki ilmu pengetahuan, masyarakat yang buta huruf. Hal ini karena
bangsa Arab sebelum
kelahiran agama Islam,
sebagian besar masyarakatnya, termasuk Muhammad sendiri sebagai pembawa risalah Islamiyah,
adalah buta huruf.
Dalam hal ini
Allah Swt. Telah menggambarkan keterbelakangan
bangsa Arab sebelum kelahiran Islam sebagai
berikut:
Dialah
yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka
sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya,
menyucikan (jiwa) mereka dan mengarkan kepada mereka
Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam
kesesatan. (QS. Al-Jumu’ah [62]: 2).
Dalam suatu hadis, Nabi Saw. juga menyatakan sebagai berikut:
“Dari
Ibnu Umar ra, dari Nabi Saw. bahwasanya
beliau besabda: “Sesugguhnyg
kami adalah umat yang ‘ummi’, tidak dapat memulis dan
menghitung bulan ini demikian, dan demikian.” (HR Bukhari)
Syaikh Ahmad bin
Hajar (2001) dalam buku Perpustakaan
karangan agus, Rifai, berdasarkan pengertian dari beberapa literatur
kebahasaan seperti Kamus al-Muhith,
Kamus Lisanul Arab, Kamus Al-Munjid, dan Kamus al-Mu’jam al-Wasith, menyatakan bahwa maksud
dari perkataan ummi sebagaimana dijelaskan dalam AI-Qur’an
adalah berkaitan dengan ketiadaan
kemampuan baca tulis. Hal ini juga didasarkan pada
realitas sosial yang
ada di mana pada umumnya masyarakat tidak pandai baca tulis, kecuali beberapa
orang saja yang dapat dihitung dengan
jari. Di
kalangan suku Quraisy pada sat
Islam lahir hanya terdapat 17 orang yang
mempunyai kemampuan menulis, dan di antaranya adalah
Umar,Utsman, Ali, Abu Ubaidah, dan Yazid bin Abu Sufyan.[5]
Tidak
berkembangnya tradisi tulisan di kalangan bangsa Arab sebelum kelahiran
Islam disebabkan oleh kebiasaan hidup
masyarakat Arab yang berpindah pindah atau nomaden.
Mereka tidak terbiasa mencatat
peristiwa-peristiwa yang terjadi sehingga
sangat sulit mencari data tertulis atau prasasti yang membuktikan peta perjalanan bangsa
Arab sebelum Islam.
Di samping itu, bangsa Arab sangat membanggakan
tradisi lisan, dan menganggap bahwa
tradisis tulisan hanya boleh dmiliki
oleh kalangan bangsawan atau raja-raja. Di kalangan masyarakat bangsa Arab terdapat anggapan bahwa
kemampuan atau kepandaian menlis merupakan
salah satu bentuk cela atau cacat dan
oleh karna itu harus disembunyikan. Oleh karna itulah, masyarakat Arab lebih senang atau lebih bangga dengan
hafalan atau kekuatan ingatan mereka. Di kalangan orang
Arab tersendiri, terdapat sebutan “al kammil” untuk orang-orang yang
mempunyai kemampuan menulis, dan mahir
berperang.
Mengenai
kebanggaan masyarakat Arab dengan tradisi
lisan, bahwa bahasa lisan merupakan satu-satunya cara bagi
bangsa Arab untuk mengungkapkan ide
dan perasaan seninya yang amat tinggi. Hitti bahkan
mengutip sebuah peribahasa Arab
yang berbunyi: “kecantikan manusia ialah kefasihan lidahnya”.[6]
Selanjutnya sering dikatakan orang bahwa “kearifan
itu hanya bebentuk tiga
corak; akal budi bangsa Prancis, tangan
bangsa Tionghoa, dan lidah bangsa Arab”. Kebanggan
bangsa Arab terhadap
kefasihan lidahnya berbentuk syair-syair yang menjadi kebanggannya. Lebih lanjut
Hitti melukiskan tentang kekuatan
syair bangsa Arab sebagai berikut:
“Di
masa perang, ketangkasan lidah penyair serupa dengan keberanian bangsanya,
sedang di masa damai pidato-pidatonya
yang berapi-api dapat merupakan ancaman terhadap
keamanan dan ketertiban umum. Syair-syairnya dapat
menggerakkan bangsanya untuk bereaksi, seperti cara pemimpin-pemimpin rakyat
zaman sekarang menggerakkan khalayak
ramai dalam kampanye pemilihan-pemilihan umum.”
Demikianlah, syair
telah menjadi kebanggaan
bagi bangsa Arab sehingga menjadi atau memiliki
seorang penyair
merupakan suatu kebanggaan dan kehormatan
bagi masyarakat Arab. Sebuah
kabilah atau suku merasa
lebih bangga mempunyai seorang penyair sebagai anggoa keluarga daripada memili
seorang panglima perang. Telah menjadi kelaziman
dari orang orang Arab Jahiliyah
mengadakan majelis
atau nakwah
(arena) sebagai tempat di mana
mereka mendeklamasikan sajak, bertanding pidato, tukar menukar berita, dan sebagainya. Di
samping itu, mereka mengadakan
aswaq (pasar) pada waktu tertentu di
beberapa tempa di
tanah Arab. Pada tempat- tempat itu masyarakat berkumpul, tidak saja untuk keperluan
bisnis berdagang, akan tetapi untuk
menyaksikan para penyair menunjukkan kehebatannya dalam bersyair. Di antara tempat
yang paling terkenal sebagai ajang
penyelenggaraan ‘kompetisi’ bersyair adalah pasar
Ukaz. Untuk keberlanjutan syairnya agar dapat dikenang oleh anak cucunya, seorang
penyair biasanya akan memilih dua orang pemuda yang diharapkan dapat menghafal
sajak-sajaknya, dan kemudian
pemuda tersebut menurunkannya ke pemuda lainnya dalam generasi
berikutnya. Mereka tidak suka sajak-sajak tersebut ditulis. Bahkan,
syair-syair tersebut lazimnya diikuti oleh hafalan silsilah nenek moyang dan
peristiwa peristiwa yang mereka alami.Semuanya
idak dicatat, tetapi disadap dalam ingatan setiap warga kabilah. Tidak hanya
syair, hal-hal lain seperti transaksi dagang, perjanjian kontrak juga
dianggap cukup hanya dengan perantara lisan, dari mulut ke mulut. Seluruh syair
jahiliyah yang menjadi catatan
sejarah adalah hasil dari hafalan turun-temurun, bukan dari catatan. Ketujuh
syair yang ditulis dengan tinta emas dan digantungkan pada dinding Ka'bah pun
lambat laun menjadi lapuk,
dan akhirnya hilang akibat adanya pembersihan Ka'bah.
Demikianlah,
tradisi lisan, dari mulut ke mulut merupakan sarana penting dalam
melestarikan informasi dan menyampaikan komunikasi. Hasrat menulis masyarakat Arab
pada waktu itu hampir-hampir
tidak ada, kecuali pada beberapa kalangan tertentu saja yang dapat dihitung
dengan jari.
B.
Tulisan Bangsa Arab Pra-Islam
Bangsa Arab
sebelum kedatangan Islam, sekalipun dikenal
sebagai bangsa Jahiliyah dan masyarakatnya buta huruf (ummi), pada kalangan atau kelompok tertentu
terdapat orang orang yang telah
mengenal tulisan. Sebutan
atau gelar “al Kamil” bagi orang yang pandai menulis,
dan terdapatnya orang orang yang
pandai menulis di kalangan suku Quraisy menunjukkan
bahwa sebelum kelahiran Islam
telah terdapat sebagian orang yang
mempunyai kemampuan menulis.
Buku
di dunia Arab berakar dari Islam. Kenyataan ini memberi ciri khas yang
dibawanya. Namun tidak berarti bahwa catatan tertulis tidak diketahui di Negara
Arab sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW sekitar tahun 600 (hijrah beliau dari
makkah ke Madinah, yang menjadi titik
awal kalender Islam, terjadi pada 622 Masehi). Dari informasi yang diperoleh
memlalui ekspesisi Niebhur di yaman, yang dilakukan pada 1762-1763, diketahui
bahwa ada tulisan dengan bentuk tertentu di Saudi Arabia. Pada abad ke-19 dan
ke-20, sejumlah sebesar tulisan ini diketahui oleh bangsa eropa. Aksara Arab
Selatan yang memiliki bentuk monumental dan simetrik, berasal dari adaptasi
bahasa Semit tertua.[7]
Di
bagian Utara Jazirah Arab, terdapat
masyarakat yang mengenal baca tulis. Makkah sebagai kota perdagangan menjadi
saksi adanya orang orang yang dapat
membaca dan menulis, dan bahkan lebih banyak daripada
di Madinah. la bahkan
menyaksikan tentang jumlah orang yang bisa menulis yang sering disebutkan dalam
beberapa literatur. Jumlah tersebut,
menurutnya, tidak
didasarkan atas perhitungan yang mendetail dan penelitian yang menyeluruh.
Akan tetapi, karena tidak
adanya bukti-bukti
yang dapat dipertanggungjawabkan maka
sering kali sfat ummiyin bangsa Arab dinisbatkan pada ketiadan pengetahuan baca
tulis. Pada masa Jahilyah bangsa Arab sudah
mengetahui peranan tulis-menulis akan tetapi mereka tidak
dapat menggunakannya sebagaimana mestinya.
Hal ini karena kehidupan mereka sehar-hari memang belum memerlukan hal itu.
Meskipun begitu, banyak sumber menyebutkan
bahwa pada masa sebelum kelahiran agama Islam di Jazirah Arab sudah
terdapat kegiatan pendidikan, termasuk pengajaran tulis-menulis. Pada masa
Jahiliyah, terdapat tempat- tempat
di Makkah, Thaif, Madinah, Anbar, Hirah, dan Dumat al-Jandal yang dipakai
untuk mengajar meski dalam bentuk yang sederhana. Di Kabilah Bani Huzail terdapat
majelis di mana anak-anak
lelaki dan perempuan belajar membaca
dan menulis. Sekalipun
terdapat jenis pekerjaan yang tidak disukai, di kalangan masyarakat Arab pekerjaan
mengajar telah mendapat perhatian khusus,
dan bahkan di kalangan bangsawan telah melakukannya.
Bisyr Ibn Abdul
Malik as Sakuniy, Abu Qais Ibn Abdi Manaf lbn Zuhrah, Amr ibn Zararah
yang dikenal sebagai al-katib, dan lain-lain.
Abu Jafinah juga pernah diminta datang ke Madinah untuk mengajar tulis-menulis. Bangsa Arab sering menulis
syair para tokoh, cerita perang kata-kata
mutiara dari pujangga, perjanjian-perjanjian, dokumen-dokumen dan sumpah-sumpah, buku
buku agama, sisilah dan keturunan,
korespondensi pribadi, dan lain-lain.
Adapun bentuk tulisan yang berkembang di
alangan bangsa Arab
terdapat berbagai pendapat. Sebagian
ahli mengatakan bahwa tulisan Arab merupakan pecahan dari akar tulisan Suryani,
karena terdapat kemiripan bentuk
huruf-huruf Arab dengan huruf Suryani. Pendapat lain
dari kalangan orientalis yang
bersumber dari ilmuwan Jerman yang
bernama Lidzbarksky, menyebutkan bahwa alfabet Arab
tumbuh dari tulisan Funisia.
Seorang orientalis lain asal Belanda, Von de Bronden, mengatakan bahwa
tulisan Arab dan Kan’an berasal dari
tulisan Mesir Hierogliph yang ditemukan di kepingan batu di Jazirah Sinai. Hal ini
didasarkan adanya kesamaan jumlah alfabet
yaitu 28 huruf. Meskipun demikian, menurut Kamil al-
Baba, pendapat yang paling dapat
dipercaya dan kesepakatan pandangan
yang banyak dianut mengenai asal tulisan Arab adalah
berasal dari tulisan dari suku
Nabati, ras Arab yang menempati wilayah Utara Jazirah Arabia di negeri Yordan.
Pendapat ini didasarkan atas temuan-temuan
tulisan pahatan pahatan purbakala atau inskripsi- inskripsi yang terdapat di Ummul Jimal, Bukit Druze, dan Huron.
1. Inskripsi
Ummul Jimal
Inskripsi
Ummul
Jimal adalah suatu tempat penemuan tulisan khat Nabti yang melahirkan cabang
lukisan kufi. Tulisan bentuk nabti
sekitar tahun 250 M pada sebuah bukit batu di sebelah Selatan Huron di daerah
Israil. Tulisan bentuk Nabti ini ditemukan oleh kaum
orientalis.[8]
2. Inskripsi
Nammarah, bukti Druze
Nammarah adalah suatu
padang Sahara sebagai tempat di Bukit Druze. Tempat
ini terdapat sebuah kuburan Ibnu Al-Qois, ditemukan oleh kaum orientalis pada
tahun 328 M. Di atas kuburan ini terdapat lukisan berbentuk teks
Nammarah.[9]
3. Inskripsi Huron
Hurron
adalah
suatu nama kota di sebelah Utara Bukit Druze. Di kota tersebut terdapat sebuah
bangunan gereja yang dibangun untuk Yang Suci Yohana Al-Ma’madan. Bangunan itu
terdapat tulisan yang diungkapkan oleh Leittmari. Tulisan itu berbentuk Naqy. [10]
Gambar-gambar
tersebut setidaknya menunjukkan bahwa
sebelum kelahiran agama Islam, di dunia Arab telah
terdapat tulisan, dan juga di
sebagian masyarakat bangsa Arab telah
mempunyai tradisi tulisan. Meskipun demikian, agaknya
tulisan yang ada saat itu belum
begitu menarik bangsa Arab untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan belajar dan mengajar Oleh
karena itu, kenyataannya
membuktikan bahwa mayoritas penduduk Jazirah
Arab hampir dapat disebut sebagai bangsa yang tidak mengetahui tulis-menulis
atau buta huruf (ummi).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bangsa Arab
sebelum kedatangan Islam, sekalipun dikenal
sebagai bangsa Jahiliyah dan masyarakatnya buta huruf (ummi), pada kalangan atau kelompok tertentu
terdapat orang orang yang telah
mengenal tulisan. Namun masih terdapatn
orang-orang yang pandai menulis di kalangan
suku Quraisy menunjukkan bahwa sebelum
kelahiran Islam telah terdapat sebagian orang yang mempunyai kemampuan
menulis. Secara garis besar , sejarah geografi dunia Arab
sebelum kelahiran islam dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu dunia Arab di
wilayah bagian Selatan dan dunia Arab di wilayah bagian Utara . Dalam
banyak literatur sejarah Islam, orang-orang Badui atau masyarakat Arab Utara-lah yang paling
dominan dibahas yang
disebutnya sebagai masyarakat jahiliyah,
masyarakat terbelakang.
Tulis menulis telah terjadi di
Arab sebelum datang Islam. Meski menyandang identitas masyarakat jahl. Namun bukan berarti , masyarakat
Arab saat itu tidak bisa menulis. Setelah Nabi Muhammad dan islam datang budaya
menulis semakin digiatkan. Hal itu didasarkan atas kegiatan pencatatan wahyu
yang disampaikan nabi kepada para sahabatnya. Sehingga pada akhirnya
mushhaf Al-Qur’an ditulis para sahabatnya pasca wafatnya Nabi.
B. Saran
Sesuai kesimpulan di atas
penulis menyarankan kepada pembaca khususnya mahasiswa/i mahasiswa prodi ilmu
perpustakaan yang berkecimpung dalam dunia kepustakaan agar mengetahui
bagaimana sejarah munculnya tradisi tulis menulis di dunia Arab sebelum Islam.
Ini merupakan hal yang penting dalam menyingkap peradaban yang terlupakan dalam sejarah peradaban Islam
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bābā,
Kamil. “Dinamika Kaligrafi Islam,
Alih Bahasa dan Pengantar Drs. D.Sirojuddin AR”. Darul Ulum Press: Jakarta, 1992.
Al-Isfahani. Kitab
Al-Aghani II. Kairo. Edisi ke III, 1928.
Pedersen, J.
”Fajar Intelektualitasme Islam”.
Mizan: Bandung, 1996.
Rifai, Agus. “Perpustakaan Islam”. Rajawali Pers: Jakarta,
2014.
Thaufan Ds, Ali. Budaya Menulis Arab Pra Islam dan Pengaruhnya Terhadap
Rasm Mushhaf”. Diunduh pada tanggal 24 Maret 2019. Dari https://www.academia.edu/4907333/Budaya_Menulis_Arab_Pra-ISlam_dan_ Pengaruhnya_Terhadap_Rasm_Mushhaf
[1] Ali Thaufan Ds. Budaya Menulis Arab
Pra Islam dan Pengaruhnya Terhadap Rasm Mushhaf”. Diunduh pada tanggal 24 Maret
2019. Dari https://www.academia.edu/4907333/Budaya_Menulis_Arab_Pra-ISlam_dan_
Pengaruhnya_Terhadap_Rasm_Mushhaf
[2] Al-Isfahani, Kitab Al-Aghani II (Kairo, Edisi ke III, 1928), hlm 100
[3] Agus, Rifai, Perpustakaan Islam, (Rajawali Pers:
Jakarta, 2014), hlm. 31
[4] Ibid, hlm. 33-34
[5] Ibid, hlm. 36
[6] Ibid, hlm. 37
[7] J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam, (Mizan:
Bandung, 1996), hlm. 15
[8] Kamil Al-Bābā, Dinamika Kaligrafi Islam, Alih Bahasa dan Pengantar Drs.
D.Sirojuddin AR, (Jakata: Darul Ulum Press, 1992), hal. 11
[9] Ibid, Hlm. 12
[10] Ibid, Hlm. 13
No comments:
Post a Comment