Thursday, 11 June 2020

Makalah Sejarah Tradisi Tulisan di Dunia Arab Sebelum Islam

SEJARAH TRADISI TULISAN DI DUNIA ARAB SEBELUM ISLAM

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ..................................................................................  i

DAFTAR ISI ................................................................................................  ii

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang ........................................................................................  1

B.     Rumusan Masalah ..................................................................................  1

C.     Kerangka Teori .......................................................................................  2

BAB II TRADISI TULISAN DI DUNIA ARAB SEBELUM ISLAM

A.    Masyarakat Arab Pra-Islam ....................................................................  3

B.     Tulisan Arab Pra-Islam ...........................................................................  10

BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan.............................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 16

 


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Masa sebelum kedatangan islam dikenal dengan zaman jahiliyah. Dalam islam periode jahiliyah dianggap sebagai suatu kemunduran dalam kehidupan beragama. pada saat itu masyarakat Arab jahiliyah mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk seperi meminum minuman keras, berjudi dan menyembah berhala. Namun, tidak berarti bahwa catatan tertulis tidak diketahui di Negara Arab sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW.

Sejarah kepustakawanan di belahan dunia mana pun berasal dari tradisi tulisan yang berlangsung di suatu masyarakat. Berdirinya perpustakaan berawal dari tradisi penulisan berbagai peristiwa yang dilestarikan dalam suatu media yang lazimnya disebut sebagai suatu dokumen, baik dalam bentuk tercetak maupun non cetak. Oleh karena itu, untuk mengenal sejarah kepustakawanan di dunia Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan tradisi tulisan yang berlangsung di dunia Islam, terutama pada masa kelahiran Islam.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana keadaan masyarakat Arab pra-Islam dalam mengenal tulisan?

2.      Bagaimana perkembangan tulis-menulis masyarakat di daerah zajirah Arab ?

3.      Bagaimana bentuk-bentuk tulisan masyarakat Arab Sebelum Islam?

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Masyarakat Arab Pra Islam

Sejarah geografi dunia Arab sebelum kelahiran islam dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu dunia Arab di wilayah bagian Selatan dan dunia Arab di wilayah bagian Utara . Dalam banyak literatur sejarah Islam, orang-orang Badui atau masyarakat Arab Utara-lah yang paling dominan dibahas yang disebutnya sebagai masyarakat jahiliyah, masyarakat terbelakang. Bangsa Arab sebelum kedatangan Islam, sekalipun dikenal sebagai bangsa Jahiliyah dan masyarakatnya buta huruf (ummi), pada kalangan atau kelompok tertentu terdapat orang orang yang telah mengenal tulisan.

Keadaan buta huruf melekat bagi suku Quraisy. Hanya ada beberapa orang saja yang belajar menulis. Kalangan Quraisy belajar menulis dari seorang bernama Harb ibn Ummayyah ibn Abd Syams. Al-ZarQani mengutip pendapat Abu Amr al-dani bahwa Harb belajar menulis dari Abdullah ibn Jad’an. Diriwayatkan bahwa Jad’an adalah warga Anbar. Warga Anbar sendiri belajar menulis dari seorang yang muncul di Kandah dan berasal dari Yaman. Adapun pengajarnya adalah al-Khaljan ibn al-Mu’min, sekretaris Nabi Hud. Jauh sebelum Al-ZarQani, Al-Zarkasi, mengutip riwayat yang menyebabkan jika penulisan Arab pertama dilakukan oleh nabi Adam dan Ismail.

Bangsa Arab khususnya, Arab bagian Utara dikenal tidak mempunyai budaya tulis. Meski demikian, sebelum kelahiran nabi Muhammad SAW , perlahan orang-orang Arab Utara  mulai mengembangkan budaya tulis. Hal ini dibuktikan dengan temuan tulisan Arab pra- Islam yakni tulisan Zabad disebelah Tenggara Aleppo (521), Harran di Laja (568). Bangsa Arab pra-islam yang dikenal dengan seni puisinya juga memberi pengaruh terhadap budaya menulis. Di Ukaz, sebuah tempat di daerah Hijaz terdapat festival bagi para penyair dalam berpuisi. Puisi yang mendapat penghargaan kemudian ditulis dengan tinta emas kemudian ditempel di dinding-dinding Ka’bah.[1]

Dalam penyebaran tulisan, orang-orang Kristen juga mempunyai peran dalam memperkenalkan tulisan kepada bangsa Arab.  Ada sebuah laporan yang menyatakan bahwa Khusrau, Raja Persia, pernah meminta seorang penyair Kristen, Adi Ibn Zayd, untuk merancang surat surat dalam bahasa Arab.[2] Kalau laporan ini dapat dipercaya, tampaknya bahasa Arab sudah digunakan dalam korespondensi administrasi pada abad ke-6 di Irak. Ini merupakan hal yang luar biasa jika orang-orang Makkah, yang tanahnya cukup tandus karenanya harus bergantung pada apa yang dapat mereka peroleh dari luar lewat perdagangan, bisa makmur dengan bantuan  yang diberikan oleh kehidupan bisnis yang menjadikan tulisan sebagai sarananya.

1. Masyarakat Jahiliyah

Menurut Prof. K. Ali dalam buku Perpustakaan Islam karangan Agus Rifa’i, seorang sejarawan Muslim asal Pakistan, dunia Arab atau ia menyebutnya Arabia merupakan wilayah padang pasir paling luas dan paling gersang di dunia. Arabia terletak di bagian barat daya Asia. Sebutan jazirah Arabia (kepulauan Arabia) menurutnya, karena negeri Arabia dikeilingi laut pada ketiga sisinya. Sedangkan  Ahmad Syalabi menyebutnya semenanjung atau sibhul Jazirah (bukan jazirah) Arabia. Karena menurutnya tidak semua sisinya tersebut dikelilingi oleh laut, yaitu di sebelah Barat berbatasan dengan Laut Merah, di sebelah selatan berbatasan dengan Lautan Hindia, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Arab (Teluk Parsi), dan di sebelah Utara berbatasan dengan Gurun Iraq, Gurun Syam (Gurun Syiria). [3]

Masyarakat wilayah Arabia bagian Utara dikenal dengan penduduk Padang Pasir, sedangkan masyarakat wilayah Selatan dikenal dengan sebutan penduduk negeri. Mereka adalah penduduk yang mempunyai peradaban yang lebih maju dibanding penduduk gurun pasir atau Badui. Penduduk negeri atau penduduk kota ini mempunyai tempat tinggal tetap, telah mengenal cara bertani, cara berdagang, dan bahkan sampai berhubungan dengan wilayah luar negeri.

Berbeda dengan masyarakat Arab Selatan, orang-orang Arab Utara yang disebut sebagai penduduk Badui atau gurun pasir sebelum kedatangan Islam, belum mencapai tingkat kemajuan dan mengembangkan peradaban sebagaimana yang dicapai oleh orang-orang Arab Selatan. Mereka mempunyai pola hidup yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Di tengah perjalanan, mereka biasanya beristirahat dan mendirikan perkemahan atau tenda. Mereka belum mengenal pertanian, perdagangan, dan tidak memiliki keahlian dalam pekerjaan tertentu. Mengendarai unta, menggembala domba dan keledai, berburu dan menyerbu yang dianggap musuh menjadi kebiasaan sehari-hari.

Orang-orang Badui atau masyarakat Arab Utara paling dominan disebutn sebagai masyarakat jahiliyah, masyarakat terbelakang. Sebutan jahiliyah itu mungkin tepat untuk suku-suku di Arab Utara. Sebutan jahiliyah itu sendiri karena mereka pada umumnya hidup dalam keterbelakangan secara ekonomi, sosial politik, dan kultural keagamaan. Secara ekonomi, masyarakat Arab terutama Arab Utara pada umumnya berada dalam kondisi perekonomian yang sangat rendah.[4] Mereka umumnya hidup dalam penderitaan dan kemiskinan, hanya beberapa keluarga saja dari kelompok Bangsawan yang mempunyai kehidupan ekonomi yang cukup seperti keluarga Usman dan keluarga Abu Bakar. Sistem ekonomi rentenir (riba) juga menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat Arab. Secara sosial dan politik, masyarakat Arab merupakan masyarakat yang terpecah-pecah dalam suku-suku atau kelompok-kelompok, tidak terdapat suatu pemerintahan yang mengorganisasikan mereka dalam satu kekuasaan. Di antara suku dengan yang lain selalu diwarnai dengan pertentangan atau perkelahian dalam rangka memperoleh kekuasaan untuk menjadi yang terkuat. Tidak terdapat sistem hukum yang mengikat mereka kecuali kesetian pada kelompok atau pimpinan suku. Hukum yang berlaku adalah hukum rimba di mana yang kuat akan menindas yang lemah.

Orang-orang Arab Utara mengalami kemerosotan moral yang menimbulkan berbagai penyakit sosial. mereka mempunyai kebiasan yang negatif yaitu memanjakan dan membanggakan minuman keras (arak). Bahkan kalau berjudi mereka sampai merelakan keluarga sebagai taruhannya. Kebiasan berzina atau hidup dengan wanita-wanita tanpa ikatan pernikahan telah menjadi tradisi di kalangan bangsa Arab. Dalam hal kehidupan agama, bangsa Arab tenggelam dalam paganisme (menyembah berhala atau patung) yang rendah, dan politeisme (syirik).

Meskipun demikian, bangsa Arab memiliki karakteristik istimewa dibanding bangsa-bangsa lainnya, yaitu mempunyai kemampuan berbicara yang fasih (lancar) dan komunikatif, mencintai kebebasan, menjunjung tinggi harga diri, terampil berkuda, pemberani, fanatik membela keyakinan (aqidah), suka berterus terang, kuat ingatan, mencintai persamaan, mempunyai ambisi atau kemauan yang kuat, tulus, dan terpercaya.

Demikianlah kondisi bangsa Arab sebelum kelahiran agama Islam. Di balik keistimewaan watak atau karakteristik yang dimilikinya, bangsa Arab dalam realitas kehidupannya mengalami kemerosotan di dalam berbagai segi kehidupan sehingga mereka terutama di wilayah Arab Utara dikenal sebagai bangsa yang ak berperadaban atau tazim disebut sebagai masyarakat jahiliyah.

2. Masyarakat Ummi (Buta Huruf)

Seperti disebutkan sebelumnya, bangsa Arab sebelum kelahiran agama Islam dikenal dengan bangsa jahiliyah, bangsa yang terbelakang, bangsa yang diliputi kebodohan, keterbelakangan atau kebodohan ini mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk di antaranya adalah keterbelakangan dalam hal ilmu pengetahuan dan kemampuan baca tulis. Oleh karena itulah mereka disebut sebagai ummat ummi’ masyarakat yang tak memiliki ilmu pengetahuan, masyarakat yang buta huruf. Hal ini karena bangsa Arab sebelum kelahiran agama Islam, sebagian besar masyarakatnya, termasuk Muhammad sendiri sebagai pembawa risalah Islamiyah, adalah buta huruf.

Dalam hal ini Allah Swt. Telah menggambarkan keterbelakangan bangsa Arab sebelum kelahiran Islam sebagai berikut:

Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan. (QS. Al-Jumu’ah [62]: 2).

 

Dalam suatu hadis, Nabi Saw. juga menyatakan sebagai berikut:

“Dari Ibnu Umar ra, dari Nabi Saw. bahwasanya beliau besabda: Sesugguhnyg kami adalah umat yang ‘ummi’, tidak  dapat memulis dan menghitung bulan ini demikian, dan demikian.” (HR Bukhari)

Syaikh Ahmad bin Hajar (2001) dalam buku Perpustakaan karangan agus, Rifai, berdasarkan pengertian dari beberapa literatur kebahasaan seperti Kamus al-Muhith, Kamus Lisanul Arab, Kamus Al-Munjid, dan Kamus al-Mu’jam al-Wasith, menyatakan bahwa maksud dari perkataan ummi sebagaimana dijelaskan dalam AI-Qur’an adalah berkaitan dengan ketiadaan kemampuan baca tulis. Hal ini juga didasarkan pada realitas sosial yang ada di mana pada umumnya masyarakat tidak pandai baca tulis, kecuali beberapa orang saja yang dapat dihitung dengan jari. Di kalangan suku Quraisy pada sat Islam lahir hanya terdapat 17 orang yang mempunyai kemampuan menulis, dan di antaranya adalah Umar,Utsman, Ali, Abu Ubaidah, dan Yazid bin Abu Sufyan.[5]

Tidak berkembangnya tradisi tulisan di kalangan bangsa Arab sebelum kelahiran Islam disebabkan oleh kebiasaan hidup masyarakat Arab yang berpindah pindah atau nomaden. Mereka tidak terbiasa mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi sehingga sangat sulit mencari data tertulis atau prasasti yang membuktikan peta perjalanan bangsa Arab sebelum Islam. Di samping itu, bangsa Arab sangat membanggakan tradisi lisan, dan menganggap bahwa tradisis tulisan hanya boleh dmiliki oleh kalangan bangsawan atau raja-raja. Di kalangan masyarakat bangsa Arab terdapat anggapan bahwa kemampuan atau kepandaian menlis merupakan salah satu bentuk cela atau cacat dan oleh karna itu harus disembunyikan. Oleh karna itulah, masyarakat  Arab lebih senang atau lebih bangga dengan hafalan atau kekuatan ingatan mereka. Di kalangan orang Arab tersendiri, terdapat sebutan “al kammil”  untuk orang-orang yang mempunyai kemampuan menulis, dan mahir berperang.

Mengenai kebanggaan masyarakat Arab dengan tradisi lisan, bahwa bahasa lisan merupakan satu-satunya cara bagi bangsa Arab untuk mengungkapkan ide dan perasaan seninya yang amat tinggi. Hitti bahkan mengutip sebuah peribahasa Arab yang berbunyi: “kecantikan manusia ialah kefasihan lidahnya”.[6] Selanjutnya sering dikatakan orang bahwa “kearifan itu hanya bebentuk tiga corak; akal budi bangsa Prancis, tangan bangsa Tionghoa, dan lidah bangsa Arab”. Kebanggan bangsa Arab terhadap kefasihan lidahnya berbentuk syair-syair yang menjadi kebanggannya. Lebih lanjut Hitti melukiskan tentang kekuatan syair bangsa Arab sebagai berikut:

“Di masa perang, ketangkasan lidah penyair serupa dengan keberanian bangsanya, sedang di masa damai pidato-pidatonya yang berapi-api dapat merupakan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban umum. Syair-syairnya dapat menggerakkan bangsanya untuk bereaksi, seperti cara pemimpin-pemimpin rakyat zaman sekarang menggerakkan khalayak ramai dalam kampanye pemilihan-pemilihan umum.”

Demikianlah, syair telah menjadi kebanggaan bagi bangsa Arab sehingga menjadi atau memiliki seorang penyair merupakan suatu kebanggaan dan kehormatan bagi masyarakat Arab. Sebuah kabilah atau suku merasa lebih bangga mempunyai seorang penyair sebagai anggoa keluarga daripada memili seorang panglima perang. Telah menjadi kelaziman dari orang orang Arab Jahiliyah mengadakan majelis atau nakwah (arena) sebagai tempat di mana mereka mendeklamasikan sajak, bertanding pidato, tukar menukar berita, dan sebagainya. Di samping itu, mereka mengadakan aswaq (pasar) pada waktu tertentu di beberapa tempa di tanah Arab. Pada tempat- tempat itu masyarakat berkumpul, tidak saja untuk keperluan bisnis berdagang, akan tetapi untuk menyaksikan para penyair menunjukkan kehebatannya dalam bersyair. Di antara tempat yang paling terkenal sebagai ajang penyelenggaraan kompetisi bersyair adalah pasar Ukaz. Untuk keberlanjutan syairnya agar dapat dikenang oleh anak cucunya, seorang penyair biasanya akan memilih dua orang pemuda yang diharapkan dapat menghafal sajak-sajaknya, dan kemudian pemuda tersebut menurunkannya ke pemuda lainnya dalam generasi berikutnya. Mereka tidak suka sajak-sajak tersebut ditulis. Bahkan, syair-syair tersebut lazimnya diikuti oleh hafalan silsilah nenek moyang dan peristiwa peristiwa yang mereka alami.Semuanya idak dicatat, tetapi disadap dalam ingatan setiap warga kabilah. Tidak hanya syair, hal-hal lain seperti transaksi dagang, perjanjian kontrak juga dianggap cukup hanya dengan perantara lisan, dari mulut ke mulut. Seluruh syair jahiliyah yang menjadi catatan sejarah adalah hasil dari hafalan turun-temurun, bukan dari catatan. Ketujuh syair yang ditulis dengan tinta emas dan digantungkan pada dinding Ka'bah pun lambat laun menjadi lapuk, dan akhirnya hilang akibat adanya pembersihan Ka'bah.

Demikianlah, tradisi lisan, dari mulut ke mulut merupakan sarana penting dalam melestarikan informasi dan menyampaikan komunikasi. Hasrat menulis masyarakat Arab pada waktu itu hampir-hampir tidak ada, kecuali pada beberapa kalangan tertentu saja yang dapat dihitung dengan jari.

 

B. Tulisan Bangsa Arab Pra-Islam

Bangsa Arab sebelum kedatangan Islam, sekalipun dikenal sebagai bangsa Jahiliyah dan masyarakatnya buta huruf (ummi), pada kalangan atau kelompok tertentu terdapat orang orang yang telah mengenal tulisan. Sebutan atau gelar “al Kamil” bagi orang yang pandai menulis, dan terdapatnya orang orang yang pandai menulis di kalangan suku Quraisy menunjukkan bahwa sebelum kelahiran Islam telah terdapat sebagian orang yang mempunyai kemampuan menulis.

Buku di dunia Arab berakar dari Islam. Kenyataan ini memberi ciri khas yang dibawanya. Namun tidak berarti bahwa catatan tertulis tidak diketahui di Negara Arab sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW sekitar tahun 600 (hijrah beliau dari makkah ke  Madinah, yang menjadi titik awal kalender Islam, terjadi pada 622 Masehi). Dari informasi yang diperoleh memlalui ekspesisi Niebhur di yaman, yang dilakukan pada 1762-1763, diketahui bahwa ada tulisan dengan bentuk tertentu di Saudi Arabia. Pada abad ke-19 dan ke-20, sejumlah sebesar tulisan ini diketahui oleh bangsa eropa. Aksara Arab Selatan yang memiliki bentuk monumental dan simetrik, berasal dari adaptasi bahasa Semit tertua.[7]

Di bagian Utara Jazirah Arab, terdapat masyarakat yang mengenal baca tulis. Makkah sebagai kota perdagangan menjadi saksi adanya orang orang yang dapat membaca dan menulis, dan bahkan lebih banyak daripada di Madinah. la bahkan menyaksikan tentang jumlah orang yang bisa menulis yang sering disebutkan dalam beberapa literatur. Jumlah tersebut, menurutnya, tidak didasarkan atas perhitungan yang mendetail dan penelitian yang menyeluruh. Akan tetapi, karena tidak adanya bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan maka sering kali sfat ummiyin bangsa Arab dinisbatkan pada ketiadan pengetahuan baca tulis. Pada masa Jahilyah bangsa Arab sudah mengetahui peranan tulis-menulis akan tetapi mereka tidak dapat menggunakannya sebagaimana mestinya. Hal ini karena kehidupan mereka sehar-hari memang belum memerlukan hal itu. Meskipun begitu, banyak sumber menyebutkan bahwa pada masa sebelum kelahiran agama Islam di Jazirah Arab sudah terdapat kegiatan pendidikan, termasuk pengajaran tulis-menulis. Pada masa Jahiliyah, terdapat tempat- tempat di Makkah, Thaif, Madinah, Anbar, Hirah, dan Dumat al-Jandal yang dipakai untuk mengajar meski dalam bentuk yang sederhana. Di Kabilah Bani Huzail terdapat majelis di mana anak-anak lelaki dan perempuan belajar membaca dan menulis. Sekalipun terdapat jenis pekerjaan yang tidak disukai, di kalangan masyarakat Arab pekerjaan mengajar telah mendapat perhatian khusus, dan bahkan di kalangan bangsawan telah melakukannya.

Bisyr Ibn Abdul Malik as Sakuniy, Abu Qais Ibn Abdi Manaf lbn  Zuhrah, Amr ibn Zararah yang dikenal sebagai al-katib, dan lain-lain. Abu Jafinah juga pernah diminta datang ke Madinah untuk mengajar tulis-menulis. Bangsa Arab sering menulis syair para tokoh, cerita perang kata-kata mutiara dari pujangga, perjanjian-perjanjian, dokumen-dokumen dan sumpah-sumpah, buku buku agama, sisilah dan keturunan, korespondensi pribadi, dan lain-lain.

Adapun bentuk tulisan yang berkembang di alangan bangsa Arab terdapat berbagai pendapat. Sebagian ahli mengatakan bahwa tulisan Arab merupakan pecahan dari akar tulisan Suryani, karena terdapat kemiripan bentuk huruf-huruf Arab dengan huruf Suryani. Pendapat lain dari kalangan orientalis yang bersumber dari ilmuwan Jerman yang bernama Lidzbarksky, menyebutkan bahwa alfabet Arab tumbuh dari tulisan Funisia. Seorang orientalis lain asal Belanda, Von de Bronden, mengatakan bahwa tulisan Arab dan Kan’an berasal dari tulisan Mesir Hierogliph yang ditemukan di kepingan batu di Jazirah Sinai. Hal ini didasarkan adanya kesamaan jumlah alfabet yaitu 28 huruf. Meskipun demikian, menurut Kamil al- Baba, pendapat yang paling dapat dipercaya dan kesepakatan pandangan yang banyak dianut mengenai asal tulisan Arab adalah berasal dari tulisan dari suku Nabati, ras Arab yang menempati wilayah Utara Jazirah Arabia di negeri Yordan. Pendapat ini didasarkan atas temuan-temuan tulisan pahatan pahatan purbakala atau inskripsi- inskripsi yang terdapat di Ummul Jimal, Bukit Druze, dan Huron.

1.      Inskripsi Ummul Jimal

Inskripsi Ummul Jimal adalah suatu tempat penemuan tulisan khat Nabti yang melahirkan cabang lukisan kufi. Tulisan bentuk nabti sekitar tahun 250 M pada sebuah bukit batu di sebelah Selatan Huron di daerah Israil. Tulisan bentuk Nabti ini ditemukan oleh kaum orientalis.[8]

 

2.      Inskripsi Nammarah, bukti Druze

Nammarah adalah suatu padang Sahara sebagai tempat di Bukit Druze. Tempat ini terdapat sebuah kuburan Ibnu Al-Qois, ditemukan oleh kaum orientalis pada tahun 328 M. Di atas kuburan ini terdapat lukisan berbentuk teks Nammarah.[9]

 

3.      Inskripsi  Huron

Hurron adalah suatu nama kota di sebelah Utara Bukit Druze. Di kota tersebut terdapat sebuah bangunan gereja yang dibangun untuk Yang Suci Yohana Al-Ma’madan. Bangunan itu terdapat tulisan yang diungkapkan oleh Leittmari. Tulisan itu berbentuk Naqy. [10]

 

Gambar-gambar tersebut setidaknya menunjukkan bahwa sebelum kelahiran agama Islam, di dunia Arab telah terdapat tulisan, dan juga di sebagian masyarakat bangsa Arab telah mempunyai tradisi tulisan. Meskipun demikian, agaknya tulisan yang ada saat itu belum begitu menarik bangsa Arab untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan belajar dan mengajar Oleh karena itu, kenyataannya membuktikan bahwa mayoritas penduduk Jazirah Arab hampir dapat disebut sebagai bangsa yang tidak mengetahui tulis-menulis atau buta huruf (ummi).

 


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Bangsa Arab sebelum kedatangan Islam, sekalipun dikenal sebagai bangsa Jahiliyah dan masyarakatnya buta huruf (ummi), pada kalangan atau kelompok tertentu terdapat orang orang yang telah mengenal tulisan. Namun masih terdapatn orang-orang yang pandai menulis di kalangan suku Quraisy menunjukkan bahwa sebelum kelahiran Islam telah terdapat sebagian orang yang mempunyai kemampuan menulis. Secara garis besar , sejarah geografi dunia Arab sebelum kelahiran islam dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu dunia Arab di wilayah bagian Selatan dan dunia Arab di wilayah bagian Utara . Dalam banyak literatur sejarah Islam, orang-orang Badui atau masyarakat Arab Utara-lah yang paling dominan dibahas yang disebutnya sebagai masyarakat jahiliyah, masyarakat terbelakang.

Tulis menulis telah terjadi di Arab sebelum datang Islam. Meski menyandang identitas masyarakat jahl. Namun bukan berarti , masyarakat Arab saat itu tidak bisa menulis.  Setelah Nabi Muhammad dan islam datang budaya menulis semakin digiatkan. Hal itu didasarkan atas kegiatan pencatatan wahyu yang disampaikan nabi kepada para sahabatnya. Sehingga pada akhirnya mushhaf  Al-Qur’an ditulis para sahabatnya pasca wafatnya Nabi.

 

B.     Saran

Sesuai kesimpulan di atas penulis menyarankan kepada pembaca khususnya mahasiswa/i mahasiswa prodi ilmu perpustakaan yang berkecimpung dalam dunia kepustakaan agar mengetahui bagaimana sejarah munculnya tradisi tulis menulis di dunia Arab sebelum Islam. Ini merupakan hal yang penting dalam menyingkap peradaban  yang terlupakan dalam sejarah peradaban Islam


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Bābā, Kamil. Dinamika Kaligrafi Islam, Alih Bahasa dan Pengantar Drs. D.Sirojuddin AR. Darul Ulum Press: Jakarta, 1992.

Al-Isfahani. Kitab Al-Aghani II. Kairo.  Edisi ke III, 1928.

Pedersen, J. ”Fajar Intelektualitasme Islam”. Mizan: Bandung, 1996.

Rifai, Agus. “Perpustakaan Islam”. Rajawali Pers: Jakarta, 2014.

Thaufan Ds, Ali. Budaya Menulis Arab Pra Islam dan Pengaruhnya Terhadap Rasm Mushhaf”. Diunduh pada tanggal 24 Maret 2019. Dari  https://www.academia.edu/4907333/Budaya_Menulis_Arab_Pra-ISlam_dan_ Pengaruhnya_Terhadap_Rasm_Mushhaf

 



[1] Ali Thaufan Ds. Budaya Menulis Arab Pra Islam dan Pengaruhnya Terhadap Rasm Mushhaf”. Diunduh pada tanggal 24 Maret 2019. Dari  https://www.academia.edu/4907333/Budaya_Menulis_Arab_Pra-ISlam_dan_ Pengaruhnya_Terhadap_Rasm_Mushhaf

[2] Al-Isfahani, Kitab Al-Aghani II (Kairo, Edisi ke III, 1928), hlm 100

[3] Agus, Rifai, Perpustakaan Islam, (Rajawali Pers: Jakarta, 2014), hlm. 31

[4] Ibid, hlm. 33-34

[5] Ibid, hlm. 36

[6] Ibid, hlm. 37

[7] J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam, (Mizan: Bandung, 1996), hlm. 15

[8] Kamil Al-Bābā, Dinamika Kaligrafi Islam, Alih Bahasa dan Pengantar Drs. D.Sirojuddin AR, (Jakata: Darul Ulum Press, 1992), hal. 11

 

[9] Ibid, Hlm. 12

[10] Ibid, Hlm. 13


No comments:

Post a Comment

TOKOH TASAWUF DI INDONESIA

BAB II PEMBAHASAN A.     TOKOH TASAWUF DI INDONESIA Berikut merupakan beberapa tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia: 1.       Hamzah Fan...