Wednesday, 10 June 2020

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

 

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

 

Terminologi sumber dan dalil hukum Islam, oleh sebahagian kalangan ulama dua istilah ini disamakan, karena kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab ushul fikih dan fikih klasik. Kata sumber sesungguhnya yang dimaksud adalah dalil-dalil syariat. Tidak ada perbedaan antara sumber hukum dengan dalil hukum Islam.

Kata sumber berarti “Wadah” sebagai wadah digalinya norma-norma hukum tertentu. Kata sumber hanya diperuntukkan kepada Alquran dan sunnah, karena dari keduanya digali norma-norma hukum. Sedangkan dalil, sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk sebagai alasan menetapkan hukum, maka metode-metode pengembangan ijtihad yaitu ijma’, qiyas, istihsan, istislah, istishab, istidlal, dan mashlih al-mursalah dikategorikan kepada dalil hukum Islam.

Secara bahasa, dalil diartikan: yang memberikan petunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang djpahami baik sifatnya hal yang baik maupun tidak baik’" Sedangkan kata dalil menurut ulama ushul, sesuatu yang diambil daripadanya, hukum syara’ secara amali, mutlak, baik dengan jalan qath’i atau zhanni. Karena itu mereka membagi dalil kepada dalil yang qath'i dalalah dan dalil zhanni dalalah.[1] Dari defenisi ini dapat disimpulkan dalil adalah segala sesuatu sebagai dasar pengambilan dan penemuan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar.

A.    Pengertian Al-Qur’an

Secara etimologi, Al-qur’an berasal dari kata “qara-a, yaqra-u, qiraatan atau quranan" berarti mengumpulkan (al-jam’u), menghimpun (al-dlommu) huruf-huruf serta kata-kata dari bagian ke bagian lain secara teratur.[2]

Al-Qur’an secara bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata qaraai, yang terambil dari wajan fu’lan, yang berarti “bacaan “ atau apa yang tertulis padanya, maqruu,seperti terungkap dalam  surah al-Qiyaamah (75) ayat 17-18[3]

 

Pengertian terminologi Alquran dapat dilihat dari pengertian ulama, seperti: Al-Ghazali mengartikan Alquran : “Sesuatu yang terdapat dalam mushaf sesuai degan al-ahruf yang diturunkan secara mutawatir”. Taj al-Din al-Subki, Alquran didefenisikan: “lafaz yang diturunkan kepada Muhammad saw sebagai mukjizat dengan satu surat darinya dan membacanya dipandang sebagai ibadah.[4]

Al-qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan oleh Allah dengan peran Malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah dengan lafaz bahasa Arab dan dengan makna yang benar, agar menjadi hujjah Rasulullah saw. Al-Qur’an itu diturunkan berbahasa Arab, (bukan bahasa orang Arab), karena bahasa orang Arab jauh berbeda dengan bahasa Al-Qur’an dalam semua aspeknya, hanya diturunkan dengan perantara Rasul dari bangsa Arab.[5] Dalam pengakuannya sebagai Rasulullah, juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman untuk manusia dan sebagai amal ibadah bila dibacanya, ia ditadwinkan diantara dua lembar mushaf yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas yang sampai kepada kita secara teratur baik dengan bentuk lisan dari generasi ke generasi lain, dengan tetap terpelihara dari perubahan dan pergantiannya.

Proses turunnya Alquran berlangsung selama kurang lebih 23 tahun dalam dua periode, 13 tahun pada periode sebelum hijrah ke Madinah (Madaniyah). 10 tahun pada periode sesudah hijrah ke Madinah (Madaniyah). Alquran terdiri 114 surat (86 surat Makkiyah dan 28 surat Madaniyah), 6236 ayat, 74437 kalimat dan 325.345 huruf.

B.     Karakteristik Al-Qur’an

Dr. Yusuf Qaradhawi memaparkan beberapa karakteristik Al-Quran dalam kitabnya ” Kaifa Nata’amal ma’al al-Quran“,( Bagaimana berinteraksi dengan Al-Quran), secara singkatnya sebagai berikut :

1)      Al-Quran adalah Kitab Ilahi

Al-Quran berasal dari Allah SWT, baik secara lafal maupun makna. Diwahyukan oleh Allah SWT kepada Rasul dan Nabi-Nya; Muhammad saw melalui ‘wahyu al-jaliy’ wahyu yang jelas. Yaitu dengan turunnya malaikat utusan Allah, Jibril a.s untuk menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW yang manusia, bukan melalui jalan wahyu yang lain ; seperti ilham, pemberian inspirasi dalam jiwa, mimpi yang benar atau cara lainnya.

Artinya : Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu ( Huud 1)          

2)      Al-Quran adalah Kitab Suci yang Terpelihara

Diantara karakteristik Al-Quran yang lainnya adalah ia merupakan kitab suci yang terpelihara keasliannya. Dan Allah SWT sendiri yang menjamin pemeliharaannya, serta tidak membebankan hal itu pada seorang pun. Tidak seperti yang dilakukan pada kitab-kitab suci selainnya, yang hanya dipelihara oleh umat yang menerimanya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT

…. disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah … (Al-Maidah 44)

Adapun makna dipeliharanya al-Quran adalah Allah SWT memeliharanya dari pemalsuan dan perubahaan terhadap teks-teksnya, seperti yang terjadi terhadap Taurat, Injil, dan sebelumnya.

3)      Al-Quran adalah Kitab suci yang menjadi Mukjizat

Diantara karakteristik Al-Quran adalah kemukjizatannya. Ia adalah mukjizat terbesar yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW sehingga bangsa arab hanya menyebut-nyebut mukjizat itu saja, tidak yang lainnya, meskipun dari beliau terjadi mukjizat yang lain yang tidak terhitung jumlahnya.

4)      Al-Quran adalah Kitab Suci yang menjadi Penjelas dan dimudahkan Pemahamannya

Al-Quran adalah kitab yang memberi penjelasan dan mudah dipahami. Tidak seperti kitab filsafat, yang cenderung untuk menggunakan simbol-simbol dan penjelasan yang sulit, tidak pula seperti kitab sastra yang menggunakan perlambang-perlambang, yang berlebihan dalam menyembunyikan substansi, sehingga sulit dipahami akal.

Allah SWT menurunkan Al-Quran agar makna-maknanya dapat ditangkap, hukum-hukumnya dapat dimengerti, rahasia-rahasianya dapat dipahami, serta ayat-ayatnya dapat ditadabburi. Oleh karena itu Allah SWT menurunkan Al-Quran dengan jelas dan memberi penjelasan, tidak samar dan sulit dipahami. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al qomar ayat 17 yang artinya :

“Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran? (Al-Qomar 17)”

5)      Al-Quran adalah Kitab Suci yang Lengkap

Al-Quran adalah kitab agama yang menyeluruh, pokok agama dan ruh wujud islam. Darinya disimpulkan konsep akidah Islam, tatacara ibadah, tuntutan akhlak, juga pokok-pokok legislasi dan hukum. Allah SWT berfirman ;

Artinya :   ..dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu (An-Nahl 89)

6)      Al-Quran adalah Kitab Suci Seluruh Zaman

Makna Al-Quran sebagai kitab keseluruhan zaman adalah ia merupakan kitab yang abadi, bukan kitab bagi suatu masa tertentu, yang kemudian habis masa berlakunya. Maksudnya, hukum-hukum Al-Quran, perintah dan larangannya, tidak berlaku secara temporer dengan suatu kurun waktu tertentu, kemudian habis masanya.

7)      Al-Quran adalah Kitab suci bagi Seluruh Umat Manusia

Al-Quran bukanlah kitab yang hanya ditujukan pada suatu bangsa, sementara tidak kepada bangsa yang lain, tidak juga untuk hanya satu warna kulit manusia, atau suatu wilayah tertentu. Tidak juga hanya bagi kalangan yang rasional, dan tidak menyentuh mereka yang emosional dan berdasarkan intuisi.Tidak juga hanya bagi rohaniawan, sementara tidak menyentuh mereka yang materialis. Al-Quran adalah kitab bagi seluruh golongan manusia. Allah SWT berfirman dalam surah At Takwir ayat 27 yang artinya

“Al-Quran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi alam semesta (At-Takwir 27)”

 

C.    Kehujjahan Alquran

Semua ulama sepakat menyatakan Al-quran merupakan sumber hukum Islam yang mana dan pertama dalam ajaran Islam. Tidak ada satu ulama membantah tentang itu. Kehujjahan Alquran terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang tidak ada keraguannya. Hal ini disebabkan Alquran merupakan kalamullah dan menjadi mukjizat Nabi Muhammad sepanjang masa dan diterima oleh umat Islam secara pasti (qath’i al-wurud) secara mutawatir dan isinya terpelihara keasliannya. [6]

J.M.S. Baljon, menjelaskan bahwa Alquran adalah wahyu Tuhan yang tidak perlu diragukan lagi, mutlak dan benar baik dalam pandangan kalangan konservatif maupun kalangan modern. Alquran merupakan prinsip dasar dan' seluruh ajaran syariat Islam (kulliyah al-syariah).[7] Penjelasan betapa luar biasanya eksistensinya Alquran telah terlihat dalam penjelmaan Alquran itu sendiri (Qs. al-Nahl : 89 dan Qs. al-Baqarah : 33).

...Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dun kabar gembira bagi orang-orangyang berserah diri (Qs. al-Nahl : 89)

 

 “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda ini. "Maka setelah diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkau dan apa yang kamu sembunyikan?” (Qs. al-Baqarah : 33)

Penjelasan beberapa definisi di atas, menempatkan Alquran merupakan sumber utama dari hirarkhis sumber hukum lslam lainnya. Alquran memiliki otoritas yang sangat mengikat, disebabkan tidak ada satu kekuatan apapun yang dapat menolak otensitas (keaslian) teksnya.

Abdul Wahab Khallaf menyebutkan karena Alquran, lafal dan maknanya dari Allah. lafal yang berbahasa Arab itu diturunkan oleh-Nya ke dalam hati Rasul-Nya. Sedangkan kapasitas Rasul hanya membacakan Alquran dan menyampaikannya. Sedangkan kekuatan argumentatif Alquran juga tidak perah tertandingi berbagai argumentasi yang lain. Sekalipun seluruh muatannya harus diakui masih bersifat zhanniy (terbuka penafsiran kembali).

Pendapat lain juga dikemukakan Zakiyuddin Sya’ban, menyebutkan bahwa Alquran merupakan dalil dan tempat pengambilan utama bagi orang yang ingin mengetahui suatu hukum. Sedangkan Zakariya al Biri mengatakan Alquran adalah: Pegangan dan sandaran utama untuk mengetahui dalil dan hukum syara’, karena Alquran itu merupakan aturan aturan asasi, sumber dari segala sumber pokok dari segala pokok.[8]

Karena lafal dan maknanya dari Allah, Alquran memiliki beberapa keistimewaan:

1.      Makna-makna yang diilhamkan oleh Allah SWT, kepada Rasul-Nya, namun tidak diturunkan kata-katanya, bahkan Rasul sendirilah yang mengungkapkan dengan lafaznya sendiri terhadap sesuatu yang diilhamkan kepadanya. Hal ini tidak dikategorikan sebagai Alquran. Tidak pula mendapat ketetapan-ketetapan hukum-hukum Alquran, akan tetapi termasuk sunnah-sunnah Rasul SAW. Begitu juga sunnah qudsi yang diucapkan Rasulullah dan disampaikannya dari tuhan, juga bukan dikategorikan sebagai Alquran. Tidak pula mendapat ketetapan hukum-hukum Alquran. Maka tidaklah semua itu menempati kedudukan martabat Alquran dalam kehujjahannya.

2.      Menafsiri sebuah surat atau ayat dengan lafaz Arab sebagai sinonim lafaz-lafaz Alquran. Sekalipun penafsiran itu sudah sesuai dengan makna (dalalah) yang ditafsiri. Karena Al-Quran itu terdiri dari lafaz-lafaz Arab yang khusus yang diturunkan oleh Allah SWT

3.      Penerjemahan sebuah surat atau ayat ke dalam bahasa Asing (selain bahasa Arab) tidak dianggap sebagai Alquran. Sekalipun dalam pengalih bahasaan itu dipelihara ketelitiannya dan penyempurnaan persesuaian maknanya dengan yang diterjemahkan. Karena Alquran terdiri dari lafaz-lafaz Arab yang khusus diturunkan oleh Allah SWT.

D.    Ayat-Ayat  Qath'i dan Zhanni

Alquran bila dilihat dari aspek dalalah atas hukum-hukum yang dikandungnya, maka dibagi kepada dua bagian:

1.      Nash qath’i dalalah, yaitu: Nash yang menunjukkan kepada makna yang bisa dipahami secara tertentu, tidak menerima takwil, tidak ada tempat bagi pemahaman arti yang selain itu.

Misalnya:

a.       Qs. An-Nisa‘:  ayat 12 tentang bagian suami dalam harta warisan adalah seperdua.

Artinya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi MahaPenyantun.

 

b.      Qs. an-Nur: ayat 2 tentang had zina seratus kali dera tidak lebih tidak kurang.

Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yangberiman.

2.      Nash zhanni dalalah, yaitu: Nash yang menunjukkan atas makna yang memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan dari makna asalnya (luqhawi) kepada makna yang lain.

Misalnya;

a.       Qs. al-Baqarah: 228 ditemukannya kata “quru” dalam bahasa Arab mempunyai dua arti “suci dan haid”. Sedangkan nash memberi arti bahwa wanita yang ditalak itu menunggu tiga kali quru'. Dengan demikian quru' yang dimaksudkan bisa tiga kali suci atau tiga kali haid, disebabkan tidak terlihat kepastian dalalahnya. Disinilah terjadi perbedaan pendapat ulama.

Artinya : Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[9]

 

E.     Penjelasan Hukum Dalam Alquran

Alquran  sebagai  sumber hukum dan dalil hukum lslam merupakan rujukan utama dalam proses istinbath hukum. Seluruh kandungan materi hukum mengakomodir kebutuhan hukum, meskipun ayat-ayat hukum dalam Alquran relarif sedikit tidak lebih dari sekitar 500 ayat.

Secara umum hukum-hukum dalam Alquran terbagi kepada dua macam yakni hukum ibadah dan hukum muamalath. Hukum muamalath secara rinci dibagi kepada :

1.      Hukum Shalat

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (thaaha: 14)”

2.      Hukum zakat

"Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. " (Q.S. al-Baqarah 2:43) 

3.      Hukum puasa

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (Q.S. Al-Baqarah/2: 183)”

4.      Hukum haji

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS.AliImron:97).

Dengan relatif sedikitnya ayat-ayat hukum di atas, tidaklah dikatakan produktilitas hukum terbatas dan kaku, justru dengan keterbatasan ayat hukum senantiasa memberikan ruh terhadap dinamika hukum yang terus bergerak sampai kapanpun. Sehingga setiap hukum yang muncul dan akan muncul kepermukaan sudah direspon melalui semangat hukum terkandung dalam Alquran itu sendiri, di sinilah terletak adanya kandungan kesempurnaan hukum dalam Alquran.

Kesempurnaan Alquran itu terlihat ketika Alquran melakukan penjelasan hukum dalam pendekatan juz’i (terperinci) dan kulli (umum).

1. Penjelasan secara juz’i dimaksudkan dimana Alquran menjelaskan hukum secara jelas dan terurai, seperti masalah akidah, hukum waris, hudud, kaffarat dan lainnya. Hikmahnya tiada lain tenutup untuk ditakwilkan atau diinterpretasi karena ini merupakan wilayah ta’abud (irrasional). Namun terbuka untuk digali dan diam untuk menemukan hikmah yang terkandung tanpa penambahan dan perubahan hukum asalnya.

2. Penjelasan secara kulli dimaksudkan, adanya kesempatan untuk melakukan ijtihad, dikarenakan sifat hukum itu bergerak dan selalu berorientasi ke depan. Hukum-hukum itu dapat ditemukan dalam hukum kebendaan, perundang-undangan, hukum tata negara, dan lainnya. Hikmahnya ada kesempatan bagi dalil hukum Islam selain Alquran untuk menjelaskan hukum-hukum tersebut melalui sunnah dan ijtihad serta metode ijtihad lainnya seperti ijma'qiyas, istihsan, istishab, maslahah al-mursalah, urf dan sadd al-dhara’i.

Dengan demikian Alquran memberikan ruang kepada dalil hukum Islam lainnya, sesuai dengan petunjuk Alquran itu sendiri melalui hirarkhis sumber  atau dalil hukum yang telah ditetapkan dengan demikian tidak ada persoalan hukum yang tidak tejawab atau luput dari sebuah penjelasan sumber ataupun dalil hukum Islam, karena wujud dari kesempurnaan hukum dalam Alquran itu sendiri begitu elastis dan fleksibel dalam menjawab setiap kebutuhan hukum yang muncul.

Jika terdapat perbedaan dalam memahami Alquran dan sunnah itu disebabkan beberapa hal yaitu:

1.      Adanya pengertian lafaz (kata). Misalnya, lafaz musytarak (arti lebih dari satu) . Contoh lafaz quru’ dalam Qs. Al-Baqarah : 228, Imam Hanafi mengartikan haid, sedangkan Imam Syafii, mengartikan suci. Selain lafaz musytarak dalam Alquran ditemukan lafaz berbentuk hakiki atau majazi. Misalnya, Qs. al-Maidah : 33 mengenai “aw yunfaw’ (atau dibuang). Imam Hanafi mengartikan secara majazi dengan “dipenjara” , sedangkan Imam Syafii memilih arti hakiki “dibuang-diusir” ke negeri lain.“

2.      Ditemukan ayat-ayat yang bertentangan. para mujtahid mengkompromikan dengan jalan :

a.       Melakukan nasakh (menghapus) ketentuan yang telah lalu dengan suatu ketentuan yang datang kemudjan dengan ada waktu perselangan antara keduanya (Qs. Al-Baqarah : 144 dan 106). Misalnya ketika di Mekkah Nabi shalat menghadap Ka’bah, kemudian pindah ke Madinah beliau shalat menghadap Baitul Maqdis selama I6 atau 17 bulan. Allah menghapus ketentuan ini dengan menetapkan Ka’bah sebagai arah kiblat (Q5. Al-Baqarah : 144).

b.      Melakukan tarjih, memilih pendapat lebih terkuat dari dua dalil yang sama. Misalnya sebahagian ulama merajihkan nash zhahir daripada maknawi, walapun nash zahir itu dhaif. Seperti Imam Ahmad mendahulukan sunnah dhaif daripada qiyas.“.


DAFTAR PUSTAKA

Khoiri, Nispul. 2015. Ushul Fiqih. Bandung: Citapustaka Media

Nurhayati dan Ali Imran Sinaga. 2018. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana

Djamaris, Riffin , Zainal. 1996. Islam: Aqidah & Syariah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.



[1] Nispul Khoiri, Ushul Fiqih (Bandung: Citapustaka Media), 2015 h. 45

[2] Ibid, h. 45

[3] Nurhayati, Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2018), h.21

[4] Nispul Khoiri, Ushul Fiqih (Bandung: Citapustaka Media, 20150 h. 45

[5] Zainal Riffin Djamaris, Islam: Aqidah & Syariah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 193

[6] Nispul Khoiri, Ushul Fiqih (Bandung: Citapustaka Media, 2015), h. 47

[7] Ibid, h. 47

[8] Ibid, h. 48

[9] Ibid, h.54


No comments:

Post a Comment

TOKOH TASAWUF DI INDONESIA

BAB II PEMBAHASAN A.     TOKOH TASAWUF DI INDONESIA Berikut merupakan beberapa tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia: 1.       Hamzah Fan...