AL-QUR’AN
SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Terminologi sumber dan dalil hukum
Islam, oleh sebahagian kalangan ulama dua istilah ini disamakan, karena
kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab ushul fikih dan fikih
klasik. Kata sumber sesungguhnya yang dimaksud adalah dalil-dalil syariat.
Tidak ada perbedaan antara sumber hukum dengan dalil hukum Islam.
Kata sumber berarti “Wadah” sebagai
wadah digalinya norma-norma hukum tertentu. Kata sumber hanya diperuntukkan
kepada Alquran dan sunnah, karena dari keduanya digali norma-norma hukum.
Sedangkan dalil, sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk sebagai alasan
menetapkan hukum, maka metode-metode pengembangan ijtihad yaitu ijma’, qiyas,
istihsan, istislah, istishab, istidlal, dan mashlih al-mursalah dikategorikan
kepada dalil hukum Islam.
Secara bahasa, dalil diartikan: yang
memberikan petunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang djpahami baik
sifatnya hal yang baik maupun tidak baik’" Sedangkan kata dalil menurut
ulama ushul, sesuatu yang diambil daripadanya, hukum syara’ secara amali,
mutlak, baik dengan jalan qath’i atau zhanni. Karena itu mereka membagi dalil
kepada dalil yang qath'i dalalah dan dalil zhanni dalalah.[1]
Dari defenisi ini dapat disimpulkan dalil adalah segala sesuatu sebagai dasar
pengambilan dan penemuan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar.
A.
Pengertian
Al-Qur’an
Secara etimologi, Al-qur’an berasal
dari kata “qara-a, yaqra-u, qiraatan atau quranan" berarti mengumpulkan
(al-jam’u), menghimpun (al-dlommu) huruf-huruf serta kata-kata dari bagian ke
bagian lain secara teratur.[2]
Al-Qur’an secara bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata qaraai, yang terambil dari
wajan fu’lan, yang berarti “bacaan “ atau apa yang tertulis padanya, maqruu,seperti terungkap dalam surah al-Qiyaamah
(75) ayat 17-18[3]
Pengertian terminologi Alquran dapat
dilihat dari pengertian ulama, seperti: Al-Ghazali mengartikan Alquran :
“Sesuatu yang terdapat dalam mushaf sesuai degan al-ahruf yang diturunkan
secara mutawatir”. Taj al-Din al-Subki, Alquran didefenisikan: “lafaz yang
diturunkan kepada Muhammad saw sebagai mukjizat dengan satu surat darinya dan
membacanya dipandang sebagai ibadah.[4]
Al-qur’an adalah kalam Allah SWT yang
diturunkan oleh Allah dengan peran Malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah,
Muhammad bin Abdullah dengan lafaz bahasa Arab dan dengan makna yang benar,
agar menjadi hujjah Rasulullah saw. Al-Qur’an itu diturunkan berbahasa Arab,
(bukan bahasa orang Arab), karena bahasa orang Arab jauh berbeda dengan bahasa
Al-Qur’an dalam semua aspeknya, hanya diturunkan dengan perantara Rasul dari
bangsa Arab.[5]
Dalam pengakuannya sebagai Rasulullah, juga sebagai undang-undang yang
dijadikan pedoman untuk manusia dan sebagai amal ibadah bila dibacanya, ia
ditadwinkan diantara dua lembar mushaf yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat an-Nas yang sampai kepada kita secara teratur baik dengan
bentuk lisan dari generasi ke generasi lain, dengan tetap terpelihara dari
perubahan dan pergantiannya.
Proses turunnya Alquran berlangsung
selama kurang lebih 23 tahun dalam dua periode, 13 tahun pada periode sebelum
hijrah ke Madinah (Madaniyah). 10 tahun pada periode sesudah hijrah ke Madinah
(Madaniyah). Alquran terdiri 114 surat (86 surat Makkiyah dan 28 surat
Madaniyah), 6236 ayat, 74437 kalimat dan 325.345 huruf.
B.
Karakteristik
Al-Qur’an
Dr. Yusuf Qaradhawi memaparkan
beberapa karakteristik Al-Quran dalam kitabnya ” Kaifa Nata’amal ma’al
al-Quran“,( Bagaimana berinteraksi dengan Al-Quran), secara singkatnya sebagai
berikut :
1)
Al-Quran
adalah Kitab Ilahi
Al-Quran berasal dari Allah SWT, baik
secara lafal maupun makna. Diwahyukan oleh Allah SWT kepada Rasul dan Nabi-Nya;
Muhammad saw melalui ‘wahyu al-jaliy’ wahyu yang jelas. Yaitu dengan turunnya
malaikat utusan Allah, Jibril a.s untuk menyampaikan wahyu kepada Rasulullah
SAW yang manusia, bukan melalui jalan wahyu yang lain ; seperti ilham,
pemberian inspirasi dalam jiwa, mimpi yang benar atau cara lainnya.
Artinya : Alif laam raa,
(Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara
terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha
tahu ( Huud 1)
2)
Al-Quran
adalah Kitab Suci yang Terpelihara
Diantara karakteristik Al-Quran yang
lainnya adalah ia merupakan kitab suci yang terpelihara keasliannya. Dan Allah
SWT sendiri yang menjamin pemeliharaannya, serta tidak membebankan hal itu pada
seorang pun. Tidak seperti yang dilakukan pada kitab-kitab suci selainnya, yang
hanya dipelihara oleh umat yang menerimanya. Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam firman Allah SWT
…. disebabkan mereka diperintahkan memelihara
kitab-kitab Allah … (Al-Maidah 44)
Adapun makna dipeliharanya al-Quran
adalah Allah SWT memeliharanya dari pemalsuan dan perubahaan terhadap
teks-teksnya, seperti yang terjadi terhadap Taurat, Injil, dan sebelumnya.
3)
Al-Quran
adalah Kitab suci yang menjadi Mukjizat
Diantara karakteristik Al-Quran
adalah kemukjizatannya. Ia adalah mukjizat terbesar yang diberikan kepada Nabi
Muhammad SAW sehingga bangsa arab hanya menyebut-nyebut mukjizat itu saja,
tidak yang lainnya, meskipun dari beliau terjadi mukjizat yang lain yang tidak
terhitung jumlahnya.
4)
Al-Quran
adalah Kitab Suci yang menjadi Penjelas dan dimudahkan Pemahamannya
Al-Quran adalah kitab yang memberi
penjelasan dan mudah dipahami. Tidak seperti kitab filsafat, yang cenderung
untuk menggunakan simbol-simbol dan penjelasan yang sulit, tidak pula seperti
kitab sastra yang menggunakan perlambang-perlambang, yang berlebihan dalam
menyembunyikan substansi, sehingga sulit dipahami akal.
Allah SWT menurunkan Al-Quran agar
makna-maknanya dapat ditangkap, hukum-hukumnya dapat dimengerti,
rahasia-rahasianya dapat dipahami, serta ayat-ayatnya dapat ditadabburi. Oleh
karena itu Allah SWT menurunkan Al-Quran dengan jelas dan memberi penjelasan,
tidak samar dan sulit dipahami. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al
qomar ayat 17 yang artinya :
“Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan
Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil
pelajaran? (Al-Qomar 17)”
5)
Al-Quran
adalah Kitab Suci yang Lengkap
Al-Quran adalah kitab agama yang
menyeluruh, pokok agama dan ruh wujud islam. Darinya disimpulkan konsep akidah
Islam, tatacara ibadah, tuntutan akhlak, juga pokok-pokok legislasi dan hukum.
Allah SWT berfirman ;
Artinya : ..dan kami
turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu (An-Nahl 89)
6)
Al-Quran
adalah Kitab Suci Seluruh Zaman
Makna Al-Quran sebagai kitab
keseluruhan zaman adalah ia merupakan kitab yang abadi, bukan kitab bagi suatu
masa tertentu, yang kemudian habis masa berlakunya. Maksudnya, hukum-hukum
Al-Quran, perintah dan larangannya, tidak berlaku secara temporer dengan suatu
kurun waktu tertentu, kemudian habis masanya.
7)
Al-Quran
adalah Kitab suci bagi Seluruh Umat Manusia
Al-Quran bukanlah kitab yang hanya
ditujukan pada suatu bangsa, sementara tidak kepada bangsa yang lain, tidak
juga untuk hanya satu warna kulit manusia, atau suatu wilayah tertentu. Tidak
juga hanya bagi kalangan yang rasional, dan tidak menyentuh mereka yang
emosional dan berdasarkan intuisi.Tidak juga hanya bagi rohaniawan, sementara
tidak menyentuh mereka yang materialis. Al-Quran adalah kitab bagi seluruh
golongan manusia. Allah SWT berfirman dalam surah At Takwir ayat 27 yang
artinya
“Al-Quran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi alam
semesta (At-Takwir 27)”
C.
Kehujjahan
Alquran
Semua ulama sepakat menyatakan
Al-quran merupakan sumber hukum Islam yang mana dan pertama dalam ajaran Islam.
Tidak ada satu ulama membantah tentang itu. Kehujjahan Alquran terletak pada
kebenaran dan kepastian isinya yang tidak ada keraguannya. Hal ini disebabkan
Alquran merupakan kalamullah dan menjadi mukjizat Nabi Muhammad sepanjang masa
dan diterima oleh umat Islam secara pasti (qath’i al-wurud) secara mutawatir
dan isinya terpelihara keasliannya. [6]
J.M.S. Baljon, menjelaskan bahwa
Alquran adalah wahyu Tuhan yang tidak perlu diragukan lagi, mutlak dan benar
baik dalam pandangan kalangan konservatif maupun kalangan modern. Alquran
merupakan prinsip dasar dan' seluruh ajaran syariat Islam (kulliyah
al-syariah).[7]
Penjelasan betapa luar biasanya eksistensinya Alquran telah terlihat dalam
penjelmaan Alquran itu sendiri (Qs. al-Nahl : 89 dan Qs. al-Baqarah : 33).
...Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran)
untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dun kabar gembira
bagi orang-orangyang berserah diri (Qs. al-Nahl : 89)
“Hai Adam,
beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda ini. "Maka setelah
diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah
sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan
bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkau dan apa yang kamu sembunyikan?” (Qs.
al-Baqarah : 33)
Penjelasan beberapa definisi di atas,
menempatkan Alquran merupakan sumber utama dari hirarkhis sumber hukum lslam lainnya.
Alquran memiliki otoritas yang sangat mengikat, disebabkan tidak ada satu
kekuatan apapun yang dapat menolak otensitas (keaslian) teksnya.
Abdul Wahab Khallaf menyebutkan
karena Alquran, lafal dan maknanya dari Allah. lafal yang berbahasa Arab itu diturunkan
oleh-Nya ke dalam hati Rasul-Nya. Sedangkan kapasitas Rasul hanya membacakan
Alquran dan menyampaikannya. Sedangkan kekuatan argumentatif Alquran juga tidak
perah tertandingi berbagai argumentasi yang lain. Sekalipun seluruh muatannya
harus diakui masih bersifat zhanniy (terbuka penafsiran kembali).
Pendapat lain juga dikemukakan
Zakiyuddin Sya’ban, menyebutkan bahwa Alquran merupakan dalil dan tempat
pengambilan utama bagi orang yang ingin mengetahui suatu hukum. Sedangkan
Zakariya al Biri mengatakan Alquran adalah: Pegangan dan sandaran utama untuk
mengetahui dalil dan hukum syara’, karena Alquran itu merupakan aturan aturan
asasi, sumber dari segala sumber pokok dari segala pokok.[8]
Karena lafal dan maknanya dari Allah, Alquran memiliki
beberapa keistimewaan:
1. Makna-makna
yang diilhamkan oleh Allah SWT, kepada Rasul-Nya, namun tidak diturunkan
kata-katanya, bahkan Rasul sendirilah yang mengungkapkan dengan lafaznya
sendiri terhadap sesuatu yang diilhamkan kepadanya. Hal ini tidak dikategorikan
sebagai Alquran. Tidak pula mendapat ketetapan-ketetapan hukum-hukum Alquran,
akan tetapi termasuk sunnah-sunnah Rasul SAW. Begitu juga sunnah qudsi yang
diucapkan Rasulullah dan disampaikannya dari tuhan, juga bukan dikategorikan
sebagai Alquran. Tidak pula mendapat ketetapan hukum-hukum Alquran. Maka
tidaklah semua itu menempati kedudukan martabat Alquran dalam kehujjahannya.
2. Menafsiri
sebuah surat atau ayat dengan lafaz Arab sebagai sinonim lafaz-lafaz Alquran.
Sekalipun penafsiran itu sudah sesuai dengan makna (dalalah) yang ditafsiri. Karena Al-Quran itu terdiri dari
lafaz-lafaz Arab yang khusus yang diturunkan oleh Allah SWT
3. Penerjemahan
sebuah surat atau ayat ke dalam bahasa Asing (selain bahasa Arab) tidak
dianggap sebagai Alquran. Sekalipun dalam pengalih bahasaan itu dipelihara
ketelitiannya dan penyempurnaan persesuaian maknanya dengan yang diterjemahkan.
Karena Alquran terdiri dari lafaz-lafaz Arab yang khusus diturunkan oleh Allah
SWT.
D.
Ayat-Ayat Qath'i dan Zhanni
Alquran bila dilihat dari aspek dalalah
atas hukum-hukum yang dikandungnya, maka dibagi kepada dua bagian:
1. Nash
qath’i dalalah, yaitu: Nash yang
menunjukkan kepada makna yang bisa dipahami secara tertentu, tidak menerima takwil, tidak ada tempat bagi pemahaman
arti yang selain itu.
Misalnya:
a. Qs.
An-Nisa‘: ayat 12 tentang bagian suami
dalam harta warisan adalah seperdua.
Artinya : Dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha Mengetahui lagi MahaPenyantun.
b. Qs.
an-Nur: ayat 2 tentang had zina seratus kali dera tidak lebih tidak kurang.
Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yangberiman.
2. Nash
zhanni dalalah, yaitu: Nash yang
menunjukkan atas makna yang memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan
dari makna asalnya (luqhawi) kepada
makna yang lain.
Misalnya;
a. Qs.
al-Baqarah: 228 ditemukannya kata “quru” dalam bahasa Arab mempunyai dua arti
“suci dan haid”. Sedangkan nash memberi arti bahwa wanita yang ditalak itu
menunggu tiga kali quru'. Dengan demikian quru' yang dimaksudkan bisa tiga kali
suci atau tiga kali haid, disebabkan tidak terlihat kepastian dalalahnya.
Disinilah terjadi perbedaan pendapat ulama.
Artinya : Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[9]
E.
Penjelasan
Hukum Dalam Alquran
Alquran sebagai
sumber hukum dan dalil hukum lslam merupakan rujukan utama dalam proses
istinbath hukum. Seluruh kandungan materi hukum mengakomodir kebutuhan hukum,
meskipun ayat-ayat hukum dalam Alquran relarif sedikit tidak lebih dari sekitar
500 ayat.
Secara umum hukum-hukum dalam Alquran
terbagi kepada dua macam yakni hukum ibadah dan hukum muamalath. Hukum
muamalath secara rinci dibagi kepada :
1.
Hukum
Shalat
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak)
selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
(thaaha: 14)”
2.
Hukum
zakat
"Dan dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat. " (Q.S. al-Baqarah 2:43)
3.
Hukum
puasa
“Wahai orang-orang yang
beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang
sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (Q.S. Al-Baqarah/2: 183)”
4.
Hukum
haji
“Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji),
maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
(QS.AliImron:97).
Dengan relatif sedikitnya ayat-ayat
hukum di atas, tidaklah dikatakan produktilitas hukum terbatas dan kaku, justru
dengan keterbatasan ayat hukum senantiasa memberikan ruh terhadap dinamika
hukum yang terus bergerak sampai kapanpun. Sehingga setiap hukum yang muncul
dan akan muncul kepermukaan sudah direspon melalui semangat hukum terkandung
dalam Alquran itu sendiri, di sinilah terletak adanya kandungan kesempurnaan
hukum dalam Alquran.
Kesempurnaan Alquran itu terlihat
ketika Alquran melakukan penjelasan hukum dalam pendekatan juz’i (terperinci)
dan kulli (umum).
1. Penjelasan secara juz’i dimaksudkan dimana Alquran
menjelaskan hukum secara jelas dan terurai, seperti masalah akidah, hukum
waris, hudud, kaffarat dan lainnya. Hikmahnya tiada lain tenutup untuk
ditakwilkan atau diinterpretasi karena ini merupakan wilayah ta’abud
(irrasional). Namun terbuka untuk digali dan diam untuk menemukan hikmah yang
terkandung tanpa penambahan dan perubahan hukum asalnya.
2. Penjelasan secara kulli dimaksudkan, adanya
kesempatan untuk melakukan ijtihad, dikarenakan sifat hukum itu bergerak dan
selalu berorientasi ke depan. Hukum-hukum itu dapat ditemukan dalam hukum
kebendaan, perundang-undangan, hukum tata negara, dan lainnya. Hikmahnya ada
kesempatan bagi dalil hukum Islam selain Alquran untuk menjelaskan hukum-hukum
tersebut melalui sunnah dan ijtihad serta metode ijtihad lainnya seperti
ijma'qiyas, istihsan, istishab, maslahah al-mursalah, urf dan sadd al-dhara’i.
Dengan demikian Alquran memberikan
ruang kepada dalil hukum Islam lainnya, sesuai dengan petunjuk Alquran itu
sendiri melalui hirarkhis sumber atau
dalil hukum yang telah ditetapkan dengan demikian tidak ada persoalan hukum
yang tidak tejawab atau luput dari sebuah penjelasan sumber ataupun dalil hukum
Islam, karena wujud dari kesempurnaan hukum dalam Alquran itu sendiri begitu
elastis dan fleksibel dalam menjawab setiap kebutuhan hukum yang muncul.
Jika terdapat perbedaan dalam
memahami Alquran dan sunnah itu disebabkan beberapa hal yaitu:
1. Adanya
pengertian lafaz (kata). Misalnya, lafaz musytarak (arti lebih dari satu) .
Contoh lafaz quru’ dalam Qs. Al-Baqarah : 228, Imam Hanafi mengartikan haid,
sedangkan Imam Syafii, mengartikan suci. Selain lafaz musytarak dalam Alquran
ditemukan lafaz berbentuk hakiki atau majazi. Misalnya, Qs. al-Maidah : 33
mengenai “aw yunfaw’ (atau dibuang). Imam Hanafi mengartikan secara majazi dengan
“dipenjara” , sedangkan Imam Syafii memilih arti hakiki “dibuang-diusir” ke
negeri lain.“
2. Ditemukan
ayat-ayat yang bertentangan. para mujtahid mengkompromikan dengan jalan :
a. Melakukan
nasakh (menghapus) ketentuan yang telah lalu dengan suatu ketentuan yang datang
kemudjan dengan ada waktu perselangan antara keduanya (Qs. Al-Baqarah : 144 dan
106). Misalnya ketika di Mekkah Nabi shalat menghadap Ka’bah, kemudian pindah
ke Madinah beliau shalat menghadap Baitul Maqdis selama I6 atau 17 bulan. Allah
menghapus ketentuan ini dengan menetapkan Ka’bah sebagai arah kiblat (Q5.
Al-Baqarah : 144).
b. Melakukan
tarjih, memilih pendapat lebih terkuat dari dua dalil yang sama. Misalnya
sebahagian ulama merajihkan nash zhahir daripada maknawi, walapun nash zahir
itu dhaif. Seperti Imam Ahmad mendahulukan sunnah dhaif daripada qiyas.“.
DAFTAR
PUSTAKA
Khoiri, Nispul. 2015. Ushul Fiqih. Bandung: Citapustaka Media
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga. 2018. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Djamaris, Riffin , Zainal. 1996. Islam: Aqidah & Syariah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[1] Nispul
Khoiri, Ushul Fiqih (Bandung:
Citapustaka Media), 2015 h. 45
[2] Ibid, h.
45
[3] Nurhayati, Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta:
Kencana, 2018), h.21
[4] Nispul
Khoiri, Ushul Fiqih (Bandung:
Citapustaka Media, 20150 h. 45
[5] Zainal
Riffin Djamaris, Islam: Aqidah &
Syariah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 193
[6] Nispul
Khoiri, Ushul Fiqih (Bandung:
Citapustaka Media, 2015), h. 47
[7] Ibid, h.
47
[8] Ibid, h.
48
[9] Ibid, h.54
No comments:
Post a Comment