Thursday, 11 June 2020

MAKALAH SUMBER ILMU PENGETAHUAN

SUMBER ILMU PENGETAHUAN

 

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 6

MAYALIANA

MUHAMMAD RIFKY FANSURI

SRIWAHYUNI PASARIBU

KELAS: JIP-2

 

 

 

 

 

 

 

PRODI ILMU PERPUSTAKAAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN

TAHUN AKADEMIK 2018/2019


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan atas  bagi kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah kami tepat pada waktunya. Tak lupa, sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Ilmu Filsafat pada semester II dengan mengangkat tema “Sumber Ilmu Pengetahuan”. Diharapkan, makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang sumber-sumber ilmu pengetahuan.

Mungkin dalam penyusunan makalah ini, terdapat banyak kesalahan di dalamnya, maka dari itu kami harapkan kritik serta saran yang membangun sehingga di kemudian hari akan menjadi lebih baik. Kami berharap agar makalah ini akan bermanfaat bagi pembaca.

 

 

Medan, 24 Maret 2019

Disusun oleh,

 

 

Kelompok 6

 


 

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR................................................................................................................. i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN                                                                                       

A.    Latar Belakang...................................................................................................................... 1

B.     Rumusan Masalah................................................................................................................. 1

C.     Tujuan .................................................................................................................................. 1

BAB II SUMBER ILMU PENGETAHUAN

A.    Instuisi .................................................................................................................................. 3

B.     Akal....................................................................................................................................... 5

C.     Indera.................................................................................................................................... 7

D.    Wahyu ................................................................................................................................ 10

BAB III PENUTUP               

A.    Kesimpulan......................................................................................................................... 12

B.     Saran................................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... 13

     



BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas manusia karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidupnya. pada makalah ini dibahas tentang hakikat pengetahuan yang meliputi apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan tersebut.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah hakikat ilmu pengetahuan?

2.      Apa saja sumber-sumber ilmu pengetahuan?

3.      Apakah instuisi, akal, indera dan wahyu?

 

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui hakikat ilmu pengetahuan.

2.      Untuk mengetahui sumber-sumber ilmu pengetahuan.

3.      Apakah instuisi, akal, indera dan wahyu?

 

 


 

BAB II

SUMBER ILMU PENGETAHUAN

Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental, ,mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu objek, dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada diluar akal. Persoalannya kemudian adalah apakah gambaran itu benar? Atau apakah gambaran itu dekat pada krebenaran atau jauh dari kebenaran?. Ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan yaitu

1.      Realisme

Teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Dengan demikian, realismE berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.[1]

2.      Idealisme

Ajaran idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif bukan merupakan gambaran objektif tentang realitas.subjektif dipandang sebagai suatu yang mengetahui, yaitu dari orang yang membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran. Yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui[2]

 


 

Semua orang memiliki ilmu pengetahuan. Persoalannya adalah darimana ilmu pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat. Dari situ timbullah pertanyaan bagaimana caranya kita memperoleh ilmu pengetahuan atau darimana sumber ilmu pengetahuan kita? Ilmu pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan sumber pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber iulmu pengetahuan antara lain:

 

A.    Instuisi

Menurut Henry Bergson, instuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini  (instuisi) memerlukan suatu usaha.[3]

Menurutnya, instuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analisis, ,menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis. Karena itu, instuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analistis atau pengetahuan yang diperoleh lewat pelukisan tidak dapat menggantikan pengenalan intuisi.

Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran. Ada sebuah isme lagi yang barangkali mirip dengan intuisionisme, yaitu iluminasionissme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh agama, yang di dalam agama Islam disebut Ma’rifah, yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Pengetahuan tersebut akan diperoleh oleh orang yang hatinya telah bersih, telah siap, dan sanggup menerima pengetahuan tersebut.

Kemampuan menerima pengetahuan secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan, yang dalam Islam disebut Riyadhah. Metode ini secara umum dipakai dalam Thariqat atau Tasawuf. Konon, kemampuan orang-orang itu sampai bisa melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat surga, neraka dan alam gaib lainnya. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati.

Menurut ajaran tasawuf, manusia itu dipengaruhi (ditutupi) oleh hal-hal material, dipengaruhi oleh nafsunya. Bila nafsu dikendalikan, dan penghalang material (hijab) dapat disingkirkan, kekuatan rasa itu mampu bekerja, mampu menangkap objek-objek gaib. Di dalam tasawuf ini digambarkan sebagai dalam keadaan fana, jiwa mampu melihat alam gaib, dari situlah diperoleh pengetahuan.[4]

Adapun perbedaan antara intuisi dalam filsafat Barat dengan makrifat dalam Islam adalah kalau intuisi diperoleh lewat perenungan dan pemikiran yang konsisten, sedangkan dalam Islam makrifat diperoleh lewat perenungan dan penyinaran dari Tuhan.[5]

Pengetahuan dengan pencerahan ini dapat dianggap sebagai sumber pengetahuan. Sebab, jika pengetahuan korespondensi melibatkan objek di luar dirinya, maka pengetahuan dengan pencerahan menyadarkan bahwa pengetahuan yang di luar hams didahului dengan pengetahuan tentang dirinya sendiri.

Pengetahuan imajinatif atau intuitif ini dapat dimanifestasikan dalam empat fungsi yaitu sebagai berikut:

1.      Kemampuan Fantasi Bebas

Pengetahuan imajinatif atau intuitif itu merupakan kegiatan mental yang menghasilkan kembali dan menciptakan gambaran-gambaran (images) tanpa adanya obiek real yang sesuai dengannya. Gambaran-gambaran itu dapat dipadukan tanpa arah dan dengan kombinasi tak terduga. Misalnya saya dapat membayangkan diri dalam macam-macam situasi dan peranan dan situasi-situasi itu iuga dengan tiba-tiba dapat tergambar berubah dengan menjadi sebaliknya atau menjadi lain sekali.

2.      Kemampuan Imajinasi Estetis

Unsur-unsur yang terbentuk oleh permainan fantasi yang disengaja membentuk kombinasi yang harmonis, dan mengungkapkan situasi batin penclptanya dalam bentuk baru. dan mampu menggerakkan pengalaman yang sama pada orang lain. Contoh: kita dapat menangis. terharu apabila mendengay lagu atau musik yang dimainkan; cerita. novel, puisi. dapat menggetarkan hail pembacanya: suatu lukisan seringkali mampu melantunkan penikmatnya entah ke mana.

3.      Kemampuan Fantasi dalam Fungsi Praktis

Fungsi fantasi dapat menjelaskan dan menyempumakan penalaran. Pemikiran masalah-masalah konkret seringkali tidak dilaksanakan orang semata-mata dengan perhitungan lams dan matematis, tetapi juga de~ ngan tantasi. Misalnya seorang dosen bisa menemukan ilustrasi bahan. kuliah dengan mengimajlnasikan contohcontoh dan perbandingan-peb bandingan.

4.      Kemampuan Imajinasi dalam Penemuan Ilmiah

Imaginasi ikut membentuk bangunan intelektual ilmu pengetahuan dan filsafat. lmaiinasi itu dapat dengan tiba-tiba membuka pemahaman. tanpa ada suatu metodik terarah. Contoh: kisah Arkhimedes tatkala berteriak: “Eureka!!", waktu dia menemukan jawaban atas pertanyaan, bagaimana ia harus mengukur ukuran benda tanpa bentuk pasti, seperti tubuh orang. ltu teriadi justru tatkala ia berendam di bak mandi dan melihat air melimpah ke luar bak mandinya setara dengan ukuran tubuhnya. Dan dalam menemukan teorinya tentang hubungan bumi dan matahari Galileo justru berlaku dengan tidak sistematis.[6]

 

B.     Indera (Empirisme)

Kata empiris berasal dari bahasa Yunani yaitu empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui dan pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengawalan yang dimaksud ialah pengalaman inderawi.[7]

Pengetahuan inderawi dimiliki manusia melalui kemampuan indera . kemampuan itu diperoleh oleh manusia dengan inderanya, manusia dapat mengatasi taraf hubungan yang semata-mata fisik.

Pengetahuan inderawi bersifat parsial. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang lainnya, berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera dan dengan objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing indera menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau makhluk yang menjadi objeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada sensibilitas organ-organ tertentu.[8]

Hal ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti: “Bagaimana orang mengetahui es itu dingin?" Seorang empiris akan mengatakan, “karena saya merasakan hal itu atau karena seorang ilmuwan telah merasakan seperti itu". Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsur yang perlu, yaitu yang mengetahui (subjek), yang diketahui (objek), dan cara dia mengetahui bahwa es itu dingin. Bagaimana dia mengetahui es itu dingin? Dengan menyentuh Iangsung lewat alat peraba. Dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.[9]

John Locke (16321704), bapak empiris Britania mengemukakan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-kelamaan menjadi kompleks, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Jadi, bagaimanapun kompleks pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dam diamati dengan indera bukanlah pengetahun yang benar. M pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar.[10]

David Hume, salah satu tokoh empirisme mengatakan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan (impressions)dan pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas). Yang dimaksud kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar. Yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang samar-samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.[11]

Ia juga menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara konstan teriadi, seperti membuat air mendidih, padahal dalam api tidak dapat diamati adanya “daya aktif" yang mendidihkan air. Jadi itu bukanlah yang diamati. Bukan hal yang dapat dilihat dengan mata sebagai berada dalam “air" yang direbus.” Jadi, gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan lewat. Pancaindera. Gejala itu jika ditelaah lebih lanjut mempunyai beberapa karakteristik tertentu umpamanya saja terdapat pola yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu. Seperti langit mendung diikuti dengan turunnya hujan. Di samping itu, kita melihat adanya karakteristik lain, yakni adanya kesamaan dan pengulangan, umpamanya saja bermacam-macam logam jika dipanaskan akan memanjang. Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan sesuatu generalisasi dari berbagai kaéus yang telah terjadi. Dengan menggunakan metode induktif, dapat disusun suatu pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersifat individual.[12]

Berdasarkan teori ini, akal hanya mengelola konsep gagasan inderawi. Hal itu dilakukannya dengan menyusun konsep tersebut atau membagi-baginya. Kaum empiris juga menganggap akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Akal Jerfungsi untuk memastikan hubungan urutan-urutan peristiwa ersebut padahal hubungan yang demikian itu bersifat kemung:inan belaka dan pengetahuan kita tentang hubungan peristiwa ersebut sesungguhnya berasal dari pengalaman. Karena itu, emua eksperimen selanjutnya seharusnya berdasarkan pada erkiraan, bukan kepastian bahwa peristiwa yang akan datang emungkinan cocok dengan yang lewat.

Jadi dalam empirisme, sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indera. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu pun sebatas ide yang kabur.[13]

Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan, antara lain:33

1.      Indera terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil, apakah ia benar-benar kecil? Ternyata tidak. Keterbatasan inderalah yang menggambarkan seperti itu. Dari sini akan terbentuk pengetahuan yang salah.

2.      Indera menipu, pada orang yang sakit malaria gula rasanya pahit, udara akan terasa dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.

3.      Objek yang menipu, contohnya fatamorgana dan ilusi. Jadi objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh indera, ia membohongi indera.

4.      Berasal dari indra dan objek sekaligus. Dalam hal ini, indera (mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.

 

C.    Akal

Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek. [14]

Macam pengetahuan lebih tinggi lagi dan yang khas untuk manusia saja, ialah pengetahuan rasional. Pengetahuan itu dicirikan oleh kesadaran akan sebab musabab suatu keputusan. la tak terbatas pada kepekaan indera tertentu, dan tidak seberapanya tertuju pada obiek tertentu.[15]

Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai Wujud dalam alam nyata dan befsifat universal. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-benda konkret, seperti hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya, bagi empirisme hukum tersebut tidak diakui.

Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide dan bukunya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan,kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.[16]

Akal, selain bekerja karena ada bahan dari indera. juga akal dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali, jadi akal dapat juga menghasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak.

Descartes, seorang pelopor rasionalisme berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi, kebenaran itu, menurutnya adalah dia tidak ragu bahwa ia ragu. Ia yakin kebenaran~kebenaran semacam itu ada dan kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan. Dengan demikian, akal budi dipahamkan sebagai sejenis perantara suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan kebenaran, artinya dengan melakukan penalaran yang akhirnya tersusunlah pengetahuan.[17]

Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide-ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. lde ini menurut mereka bukanlah ciptaan manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya. Fungsi pikiran manusia di sini hanyalah untuk mengenali prinsip-prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat a priori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya dan dengan mengetahui prinsip itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitat  kita.”

Spinoza memberikan penjelasan yang lebih mudah dengan menyusun sistem rasionalisme atas dasar ilmu ukur. Menurutnya, dalil ilmu ukur merupakan dalil kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya, Spinoza yakin jika seseorang memahami makna yang terkandung oleh pernyataan, “sebuah garis lums merupakan jarak terdekat di antara dua buah titik”. Maka seseorang mau tidak mau mengakui kebenaran pernyataan itu. Menurutnya tidak perlu ada bukti-bukti yang lain kecuali makna yang dikandung kata-kata yang digunakan.[18]

Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai kritera untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak. Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalisme adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran induktif, karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak. Terbebas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tidak dapat dilakukan.

Dari dua aliran tersebut (empirisme dan rasionalisme) terlahirlah metode ilmiah atau pengetahuan sains. Yang merupakan gabungan dari kedua aliran tersebut. Dalam hal ini panca indera mengumpulkan data-data, sedangkan akal menyimpulkan berdasarkan pada prinsip-prinsip universal, yang kemudian disebut universal. Tapi kebenaran yang model bukan kebenaran mutlak, tapi kebenaran yang dekat pada hakikat, yaitu menurut kesanggupan tertinggi dan akal) dalam mendekati hakikat itu.

Namun teori ini pun mengalami kesulitan, karena data, data yang ada di alam tidak semuanya dapat dikumpulkan karena alam terlalu besar. Yang dapat dikumpulkan hanya sebagian dari data-data yang ada dan itu pun yang telah terjadi. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh belum sempurna, karena datadata yang dikumpulkan tidak sempurna.

Adanya problem pada empirisme dan rasionalisme yang menghasilkan metode ilmiah melahirkan aliran positivisme oleh August Comte dan Immanuel Kant. August Comte berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat eksperimen dan eksperimen itu sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, dan lain sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas atau matahari panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali, panas, dan tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur. [19]

Dalam hal ini Kant juga menekankan pentingnya meneliti lebih lanjut terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera dengan datanya dan dilanjutkan oleh akal dengan melakukan penelitian yang lebih mendalam. la mencontohkan bagaimana kita dapat menyimpulkan kalau kuman tipus menyebabkan demam tipus tanpa penelitian yang mendalam dan eksperimen. Dari penelitian tersebut seseorang dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan sebab akibat antara kuman tipus dan demam tipus.[20]

Pada dasarnya aliran ini (yang diuraikan oleh August Comte dan Immanuel Kant) bukanlah suatu aliran khas yang berdiri sendiri, tetapi ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.

      Pengetahuan rasional ini terbagi menjadi pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah yaitu sebagai berikut:

a)      Pengetahuan biasa

Setiap orang memiliki pengetahuan biasa, yakni pengetahuan tanpa usaha khusus. Pengetahuan ini bersifat intuitif-spontan dan tidak seberapa memakai penalaran formal. Pengetahuan itu diperoleh melalui pergaulan normal dengan orang lain dan dunia sekitamya, dan meliputi banyaktingkat: pengertian tentang barang benda biasa, pengertian tanama an dan ternak, dan pengetahuan akan manusia. Misalnya setiap orang dewasa secara spontan mengetahui tentang penyebaban dalam perist alamiah, tentang hubungan sosial. dan tentang pendidikan anak. Di ant pengertian-pengertlan itu dan tercampur dengannya termuat pengetahu‘ tentang hal-hal 'terakhir'. seperti hakikat manusia. makna hidup manusia kematian. dan Sang Pencipta.

b)     Pengetahuan ilmiah

Menurut Van Peursen (1985) Pengetahuan llmiah lalah pengetahuan yang terorganlsasi, yaitu dengan sistem dan metode berusaha mencari hubungan-hubungan tetap di antara geiala-gejala.. pengetahuan Ilmiah empiris mengumpulkan gejala-gejala tersebut dan tetap tinggal dalam garis kawasan horizontal.

 

 

D.    Wahyu

Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan para nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperoleh. nya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.[21]

Pengetahuan dengan jalan ini merupakan kekhususan para nabi. Hal inilah yang membedakan mereka dengan manusia-manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal itu memang di luar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dan membenarkan semua yang berasal dari Nabi.[22]

Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transedental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti.

Kepercayaan inilah yang merupakan titik tolak dalam agama dan lewat pengkajian selanjutnya dapat meningkatkan atau menurunkan kepercayaan itu. Sedangkan ilmu pengetahuan sebaliknya, yaitu dimulai mengkaji dengan riset, pengalaman, dan percobaan untuk sampai kepada kebenaran yang faktual.

 

 


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental, ,mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu objek, dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada diluar akal. Ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan yaitu Realisme, teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam dan idealism, ajaran idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil

Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber iulmu pengetahuan antara lain:

1.      Instuisi, Menurut Henry Bergson, instuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini  (instuisi) memerlukan suatu usaha

2.      Indera (Empirisme), Kata empiris berasal dari bahasa Yunani yaitu empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui dan pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengawalan yang dimaksud ialah pengalaman inderawi

3.      Akal, Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek

4.      Wahyu, Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan para nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperoleh. nya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.

B.     Saran

Sesuai dengan kesimpulan di atas penulis menyarankan agar kita memiliki kemauan untuk belajar menuntut ilmu serta mengetahui darimana sumber-sumber pengetahuan ilmu agar kita menjadi seorang mahasiswa/i yang  paham mengenai filsafat ilmu.


 

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama. Jakarta: Logos

Bakker, Anton, dan Achmad Charris. 1989. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Burhanuddin, Salam2000. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.

Kattsoft, Louis O. 1996. Pengantar filsafat. Yogyakarta: Tiara Wicana Yogya, 1996

Mustafa, H. A. 1997. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia

Suriasumantri, Jujun S. 1998. filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998

Tafsir, Ahmad Tafsir. 1992. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya.

 



[1] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos, 1997), cet. 1, hlm. 38

[2] Ibid, hlm. 39

[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), Cet. 2, hlm. 27

[4] Amsal, Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: raja Grafindo Persada, 2013), Cet. XII hlm. 132

[5] Burhanuddin, Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet. III, hlm. 132

[6] Anton, Bakker dan Achmad Charris, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), Cet. IX, hlm. 25-26

[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), Cet. 2, hlm. 24

[8] Anton, Bakker dan Achmad Charris, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius), Cet. IX, hlm. 21-22

[9] Amsal, Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: raja Grafindo Persada, 2013), Cet. XII hlm. 42

[10] Ibid, hlm. 100

[11] Ibid, hlm. 100

[12] Jujun S. Suriasumantri, filsafat Ilmu, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), Cet. II, hlm. 52

[13] Amsal, Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: raja Grafindo Persada, 2013), Cet. XII, hlm. 102.

[14] Ibid, Cet. XII, hlm. 102.

[15] Anton, Bakker dan Achmad Charris, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), Cet. IX, hlm. 23

[16] Louis O. Kattsoft, Pengantar filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wicana Yogya, 1996), Cet. VII, hlm. 139.

[17] Ibid, hlm. 139

[18] Amsal, Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: raja Grafindo Persada, 2013), Cet. XII, hlm. 105

[19] Ibid, hlm. 106.

[20] Ibid, hlm. 107

[21] Ibid, hlm. 109-110

[22] H. A. Mustafa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet. I. hlm. 106


No comments:

Post a Comment

TOKOH TASAWUF DI INDONESIA

BAB II PEMBAHASAN A.     TOKOH TASAWUF DI INDONESIA Berikut merupakan beberapa tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia: 1.       Hamzah Fan...