SUMBER
ILMU PENGETAHUAN
DISUSUN
OLEH:
KELOMPOK
6
MAYALIANA
MUHAMMAD
RIFKY FANSURI
SRIWAHYUNI
PASARIBU
KELAS:
JIP-2
PRODI
ILMU PERPUSTAKAAN
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan
atas bagi kehadirat Allah SWT karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah kami tepat pada
waktunya. Tak lupa, sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada
junjungan kita nabi Muhammad SAW.
Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Ilmu Filsafat pada semester II dengan
mengangkat tema “Sumber Ilmu Pengetahuan”. Diharapkan, makalah ini dapat
menambah pengetahuan pembaca tentang sumber-sumber ilmu pengetahuan.
Mungkin dalam penyusunan
makalah ini, terdapat banyak kesalahan di dalamnya, maka dari itu kami harapkan
kritik serta saran yang membangun sehingga di kemudian hari akan menjadi lebih
baik. Kami berharap agar makalah ini akan bermanfaat bagi pembaca.
Medan, 24 Maret 2019
Disusun oleh,
Kelompok
6
DAFTAR
ISI
Hal
KATA PENGANTAR................................................................................................................. i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang...................................................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................................................................. 1
C.
Tujuan .................................................................................................................................. 1
BAB II SUMBER ILMU PENGETAHUAN
A.
Instuisi .................................................................................................................................. 3
B.
Akal....................................................................................................................................... 5
C.
Indera.................................................................................................................................... 7
D.
Wahyu ................................................................................................................................ 10
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan......................................................................................................................... 12
B.
Saran................................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat
dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun
historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Pengetahuan berkembang dari
rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas manusia karena manusia adalah
satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh.
Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan
kelangsungan hidupnya. pada makalah ini dibahas tentang hakikat pengetahuan
yang meliputi apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah hakikat ilmu pengetahuan?
2.
Apa saja sumber-sumber ilmu pengetahuan?
3.
Apakah instuisi, akal, indera dan wahyu?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui hakikat ilmu pengetahuan.
2. Untuk
mengetahui sumber-sumber ilmu pengetahuan.
3.
Apakah instuisi, akal, indera dan wahyu?
BAB II
SUMBER ILMU PENGETAHUAN
Pengetahuan pada dasarnya
adalah keadaan mental, ,mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang
suatu objek, dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada diluar
akal. Persoalannya kemudian adalah apakah gambaran itu benar? Atau apakah
gambaran itu dekat pada krebenaran atau jauh dari kebenaran?. Ada dua teori
untuk mengetahui hakikat pengetahuan yaitu
1. Realisme
Teori ini mempunyai pandangan
realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran
sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Dengan
demikian, realismE berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila
sesuai dengan kenyataan.[1]
2. Idealisme
Ajaran idealisme menegaskan
bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan
adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses psikologis
yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis
hanya merupakan gambaran subjektif bukan merupakan gambaran objektif tentang
realitas.subjektif dipandang sebagai suatu yang mengetahui, yaitu dari orang
yang membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini tidak
menggambarkan hakikat kebenaran. Yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran
menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui[2]
Semua orang memiliki ilmu
pengetahuan. Persoalannya adalah darimana ilmu pengetahuan itu diperoleh atau
lewat apa pengetahuan didapat. Dari situ timbullah pertanyaan bagaimana caranya
kita memperoleh ilmu pengetahuan atau darimana sumber ilmu pengetahuan kita?
Ilmu pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat
yang merupakan sumber pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pendapat
tentang sumber iulmu pengetahuan antara lain:
A. Instuisi
Menurut Henry Bergson, instuisi
adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan
insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan
kemampuan ini (instuisi) memerlukan
suatu usaha.[3]
Menurutnya, instuisi mengatasi
sifat lahiriah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analisis,
,menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis.
Karena itu, instuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Analistis atau pengetahuan yang diperoleh lewat pelukisan
tidak dapat menggantikan pengenalan intuisi.
Pengetahuan
intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam
menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan
analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran. Ada sebuah
isme lagi yang barangkali mirip dengan intuisionisme, yaitu iluminasionissme.
Aliran ini berkembang di kalangan tokoh agama, yang di dalam agama Islam
disebut Ma’rifah, yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan
dan penyinaran. Pengetahuan tersebut akan diperoleh oleh orang yang hatinya
telah bersih, telah siap, dan sanggup menerima pengetahuan tersebut.
Kemampuan
menerima pengetahuan secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan, yang
dalam Islam disebut Riyadhah. Metode ini secara umum dipakai dalam Thariqat
atau Tasawuf. Konon, kemampuan orang-orang itu sampai bisa melihat Tuhan,
berbincang dengan Tuhan, melihat surga, neraka dan alam gaib lainnya. Dari
kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat
tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat
indera dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati.
Menurut
ajaran tasawuf, manusia itu dipengaruhi (ditutupi) oleh hal-hal material,
dipengaruhi oleh nafsunya. Bila nafsu dikendalikan, dan penghalang material
(hijab) dapat disingkirkan, kekuatan rasa itu mampu bekerja, mampu menangkap
objek-objek gaib. Di dalam tasawuf ini digambarkan sebagai dalam keadaan fana,
jiwa mampu melihat alam gaib, dari situlah diperoleh pengetahuan.[4]
Adapun
perbedaan antara intuisi dalam filsafat Barat dengan makrifat dalam Islam
adalah kalau intuisi diperoleh lewat perenungan dan pemikiran yang konsisten,
sedangkan dalam Islam makrifat diperoleh lewat perenungan dan penyinaran dari
Tuhan.[5]
Pengetahuan
dengan pencerahan ini dapat dianggap sebagai sumber pengetahuan. Sebab, jika
pengetahuan korespondensi melibatkan objek di luar dirinya, maka pengetahuan
dengan pencerahan menyadarkan bahwa pengetahuan yang di luar hams didahului
dengan pengetahuan tentang dirinya sendiri.
Pengetahuan
imajinatif atau intuitif ini dapat dimanifestasikan dalam empat fungsi yaitu
sebagai berikut:
1. Kemampuan Fantasi Bebas
Pengetahuan
imajinatif atau intuitif itu merupakan kegiatan mental yang menghasilkan
kembali dan menciptakan gambaran-gambaran (images) tanpa adanya obiek real yang
sesuai dengannya. Gambaran-gambaran itu dapat dipadukan tanpa arah dan dengan
kombinasi tak terduga. Misalnya saya dapat membayangkan diri dalam macam-macam
situasi dan peranan dan situasi-situasi itu iuga dengan tiba-tiba dapat
tergambar berubah dengan menjadi sebaliknya atau menjadi lain sekali.
2. Kemampuan Imajinasi Estetis
Unsur-unsur yang terbentuk oleh permainan fantasi yang
disengaja membentuk kombinasi yang harmonis, dan mengungkapkan situasi batin
penclptanya dalam bentuk baru. dan mampu menggerakkan pengalaman yang sama pada
orang lain. Contoh: kita dapat menangis. terharu apabila mendengay lagu atau
musik yang dimainkan; cerita. novel, puisi. dapat menggetarkan hail pembacanya:
suatu lukisan seringkali mampu melantunkan penikmatnya entah ke mana.
3. Kemampuan Fantasi dalam Fungsi Praktis
Fungsi fantasi dapat menjelaskan dan menyempumakan
penalaran. Pemikiran masalah-masalah konkret seringkali tidak dilaksanakan
orang semata-mata dengan perhitungan lams dan matematis, tetapi juga de~ ngan
tantasi. Misalnya seorang dosen bisa menemukan ilustrasi bahan. kuliah dengan
mengimajlnasikan contohcontoh dan perbandingan-peb bandingan.
4. Kemampuan Imajinasi dalam Penemuan Ilmiah
Imaginasi ikut membentuk bangunan intelektual ilmu
pengetahuan dan filsafat. lmaiinasi itu dapat dengan tiba-tiba membuka pemahaman.
tanpa ada suatu metodik terarah. Contoh: kisah Arkhimedes tatkala berteriak:
“Eureka!!", waktu dia menemukan jawaban atas pertanyaan, bagaimana ia
harus mengukur ukuran benda tanpa bentuk pasti, seperti tubuh orang. ltu
teriadi justru tatkala ia berendam di bak mandi dan melihat air melimpah ke
luar bak mandinya setara dengan ukuran tubuhnya. Dan dalam menemukan teorinya
tentang hubungan bumi dan matahari Galileo justru berlaku dengan tidak
sistematis.[6]
B. Indera (Empirisme)
Kata
empiris berasal dari bahasa Yunani yaitu empeirikos,
artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan
melalui dan pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya,
pengalaman yang dimaksud ialah pengawalan yang dimaksud ialah pengalaman
inderawi.[7]
Pengetahuan
inderawi dimiliki manusia melalui kemampuan indera . kemampuan itu diperoleh
oleh manusia dengan inderanya, manusia dapat mengatasi taraf hubungan yang
semata-mata fisik.
Pengetahuan
inderawi bersifat parsial. Itu
disebabkan oleh adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang lainnya,
berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera dan dengan objek yang dapat
ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing indera menangkap aspek yang berbeda
mengenai barang atau makhluk yang menjadi objeknya. Jadi pengetahuan inderawi
berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada sensibilitas organ-organ
tertentu.[8]
Hal
ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti: “Bagaimana orang
mengetahui es itu dingin?" Seorang empiris akan mengatakan, “karena saya
merasakan hal itu atau karena seorang ilmuwan telah merasakan seperti
itu". Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsur yang perlu, yaitu yang
mengetahui (subjek), yang diketahui (objek), dan cara dia mengetahui bahwa es
itu dingin. Bagaimana dia mengetahui es itu dingin? Dengan menyentuh Iangsung
lewat alat peraba. Dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa
pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.[9]
John
Locke (16321704), bapak empiris Britania mengemukakan teori tabula rasa
(sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya
kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu,
lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu
sederhana, lama-kelamaan menjadi kompleks, lalu tersusunlah pengetahuan
berarti. Jadi, bagaimanapun kompleks pengetahuan manusia, ia selalu dapat
dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dam diamati dengan indera
bukanlah pengetahun yang benar. M pengalaman indera itulah sumber pengetahuan
yang benar.[10]
David
Hume, salah satu tokoh empirisme mengatakan bahwa manusia tidak membawa
pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan.
Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan (impressions)dan
pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas). Yang dimaksud kesan-kesan adalah
pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan
terbakar. Yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang
samar-samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam
kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.[11]
Ia
juga menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan
logika atau kemestian sebab akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling
berurutan saja dan secara konstan teriadi, seperti membuat air mendidih,
padahal dalam api tidak dapat diamati adanya “daya aktif" yang mendidihkan
air. Jadi itu bukanlah yang diamati. Bukan hal yang dapat dilihat dengan mata
sebagai berada dalam “air" yang direbus.” Jadi, gejala-gejala alamiah
menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan
lewat. Pancaindera. Gejala itu jika ditelaah lebih lanjut mempunyai beberapa
karakteristik tertentu umpamanya saja terdapat pola yang teratur mengenai suatu
kejadian tertentu. Seperti langit mendung diikuti dengan turunnya hujan. Di
samping itu, kita melihat adanya karakteristik lain, yakni adanya kesamaan dan
pengulangan, umpamanya saja bermacam-macam logam jika dipanaskan akan
memanjang. Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan sesuatu generalisasi dari
berbagai kaéus yang telah terjadi. Dengan menggunakan metode induktif, dapat
disusun suatu pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap
gejala-gejala fisik yang bersifat individual.[12]
Berdasarkan
teori ini, akal hanya mengelola konsep gagasan inderawi. Hal itu dilakukannya
dengan menyusun konsep tersebut atau membagi-baginya. Kaum empiris juga menganggap
akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil
penginderaan tersebut. Akal Jerfungsi untuk memastikan hubungan urutan-urutan
peristiwa ersebut padahal hubungan yang demikian itu bersifat kemung:inan
belaka dan pengetahuan kita tentang hubungan peristiwa ersebut sesungguhnya
berasal dari pengalaman. Karena itu, emua eksperimen selanjutnya seharusnya
berdasarkan pada erkiraan, bukan kepastian bahwa peristiwa yang akan datang
emungkinan cocok dengan yang lewat.
Jadi
dalam empirisme, sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris
yang diperoleh dari panca indera. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada,
itu pun sebatas ide yang kabur.[13]
Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan, antara
lain:33
1.
Indera terbatas, benda yang jauh kelihatan
kecil, apakah ia benar-benar kecil? Ternyata tidak. Keterbatasan inderalah yang
menggambarkan seperti itu. Dari sini akan terbentuk pengetahuan yang salah.
2.
Indera menipu, pada orang yang sakit
malaria gula rasanya pahit, udara akan terasa dingin. Ini akan menimbulkan
pengetahuan empiris yang salah juga.
3.
Objek yang menipu, contohnya fatamorgana
dan ilusi. Jadi objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh
indera, ia membohongi indera.
4. Berasal
dari indra dan objek sekaligus. Dalam hal ini, indera (mata) tidak mampu
melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat
memperlihatkan badannya secara keseluruhan. Kesimpulannya ialah empirisme lemah
karena keterbatasan indera manusia.
C. Akal
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar
kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal.
Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek. [14]
Macam
pengetahuan lebih tinggi lagi dan yang khas untuk manusia saja, ialah
pengetahuan rasional. Pengetahuan itu dicirikan oleh kesadaran akan sebab
musabab suatu keputusan. la tak terbatas pada kepekaan indera tertentu, dan
tidak seberapanya tertuju pada obiek tertentu.[15]
Dalam
penyusunan ini akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal.
Konsep tersebut mempunyai Wujud dalam alam nyata dan befsifat universal. Yang
dimaksud dengan prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-benda
konkret, seperti hukum kausalitas atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya,
bagi empirisme hukum tersebut tidak diakui.
Para
penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide
dan bukunya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna
mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan,kebenaran
hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal
budi saja.[16]
Akal,
selain bekerja karena ada bahan dari indera. juga akal dapat menghasilkan
pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali, jadi akal dapat
juga menghasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak.
Descartes,
seorang pelopor rasionalisme berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak
dapat diragukan lagi, kebenaran itu, menurutnya adalah dia tidak ragu bahwa ia
ragu. Ia yakin kebenaran~kebenaran semacam itu ada dan kebenaran tersebut
dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak
dapat diragukan. Dengan demikian, akal budi dipahamkan sebagai sejenis
perantara suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat
ditemukan kebenaran, artinya dengan melakukan penalaran yang akhirnya tersusunlah
pengetahuan.[17]
Premis
yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide-ide yang menurut
anggapannya jelas dan dapat diterima. lde ini menurut mereka bukanlah ciptaan
manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha
memikirkannya. Fungsi pikiran manusia di sini hanyalah untuk mengenali
prinsip-prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri
sudah ada dan bersifat a priori dan dapat diketahui oleh manusia lewat
kemampuan berpikir rasionalnya dan dengan mengetahui prinsip itulah maka kita
dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitat kita.”
Spinoza
memberikan penjelasan yang lebih mudah dengan menyusun sistem rasionalisme atas
dasar ilmu ukur. Menurutnya, dalil ilmu ukur merupakan dalil kebenaran yang
tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya, Spinoza yakin jika seseorang memahami
makna yang terkandung oleh pernyataan, “sebuah garis lums merupakan jarak
terdekat di antara dua buah titik”. Maka seseorang mau tidak mau mengakui
kebenaran pernyataan itu. Menurutnya tidak perlu ada bukti-bukti yang lain
kecuali makna yang dikandung kata-kata yang digunakan.[18]
Tetapi
rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai kritera untuk
mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas
dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak. Jadi masalah utama yang
dihadapi kaum rasionalisme adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis ini
semuanya bersumber pada penalaran induktif, karena premis-premis ini semuanya
bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak. Terbebas dari
pengalaman maka evaluasi semacam ini tidak dapat dilakukan.
Dari
dua aliran tersebut (empirisme dan rasionalisme) terlahirlah metode ilmiah atau
pengetahuan sains. Yang merupakan gabungan dari kedua aliran tersebut. Dalam
hal ini panca indera mengumpulkan data-data, sedangkan akal menyimpulkan
berdasarkan pada prinsip-prinsip universal, yang kemudian disebut universal.
Tapi kebenaran yang model bukan kebenaran mutlak, tapi kebenaran yang dekat pada
hakikat, yaitu menurut kesanggupan tertinggi dan akal) dalam mendekati hakikat
itu.
Namun
teori ini pun mengalami kesulitan, karena data, data yang ada di alam tidak
semuanya dapat dikumpulkan karena alam terlalu besar. Yang dapat dikumpulkan
hanya sebagian dari data-data yang ada dan itu pun yang telah terjadi. Oleh
karena itu, pengetahuan yang diperoleh belum sempurna, karena datadata yang
dikumpulkan tidak sempurna.
Adanya
problem pada empirisme dan rasionalisme yang menghasilkan metode ilmiah
melahirkan aliran positivisme oleh August Comte dan Immanuel Kant. August Comte
berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan,
tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen.
Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat eksperimen dan eksperimen itu sendiri
memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan derajat panas,
jauh diukur dengan meteran, dan lain sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan
api panas atau matahari panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali,
panas, dan tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah
kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dengan
didukung bukti-bukti empiris yang terukur. [19]
Dalam
hal ini Kant juga menekankan pentingnya meneliti lebih lanjut terhadap apa yang
telah dihasilkan oleh indera dengan datanya dan dilanjutkan oleh akal dengan
melakukan penelitian yang lebih mendalam. la mencontohkan bagaimana kita dapat
menyimpulkan kalau kuman tipus menyebabkan demam tipus tanpa penelitian yang
mendalam dan eksperimen. Dari penelitian tersebut seseorang dapat mengambil
kesimpulan bahwa ada hubungan sebab akibat antara kuman tipus dan demam tipus.[20]
Pada
dasarnya aliran ini (yang diuraikan oleh August Comte dan Immanuel Kant) bukanlah
suatu aliran khas yang berdiri sendiri, tetapi ia hanya menyempurnakan
empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama dengan memasukkan perlunya
eksperimen dan ukuran-ukuran.
Pengetahuan
rasional ini terbagi menjadi pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah yaitu
sebagai berikut:
a) Pengetahuan biasa
Setiap
orang memiliki pengetahuan biasa, yakni pengetahuan tanpa usaha khusus.
Pengetahuan ini bersifat intuitif-spontan dan tidak seberapa memakai penalaran
formal. Pengetahuan itu diperoleh melalui pergaulan normal dengan orang lain
dan dunia sekitamya, dan meliputi banyaktingkat: pengertian tentang barang
benda biasa, pengertian tanama an dan ternak, dan pengetahuan akan manusia.
Misalnya setiap orang dewasa secara spontan mengetahui tentang penyebaban dalam
perist alamiah, tentang hubungan sosial. dan tentang pendidikan anak. Di ant
pengertian-pengertlan itu dan tercampur dengannya termuat pengetahu‘ tentang
hal-hal 'terakhir'. seperti hakikat manusia. makna hidup manusia kematian. dan
Sang Pencipta.
b) Pengetahuan ilmiah
Menurut
Van Peursen (1985) Pengetahuan llmiah lalah pengetahuan yang terorganlsasi,
yaitu dengan sistem dan metode berusaha mencari hubungan-hubungan tetap di
antara geiala-gejala.. pengetahuan Ilmiah empiris mengumpulkan gejala-gejala
tersebut dan tetap tinggal dalam garis kawasan horizontal.
D. Wahyu
Wahyu
adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan
para nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa
bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperoleh. nya. Pengetahuan
mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan
diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.[21]
Pengetahuan
dengan jalan ini merupakan kekhususan para nabi. Hal inilah yang membedakan
mereka dengan manusia-manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran
pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan itu memang ada pada saat
manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal itu memang di luar
kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dan
membenarkan semua yang berasal dari Nabi.[22]
Wahyu
Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang
terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transedental, seperti
latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan segenap isinya serta
kehidupan di akhirat nanti.
Kepercayaan
inilah yang merupakan titik tolak dalam agama dan lewat pengkajian selanjutnya
dapat meningkatkan atau menurunkan kepercayaan itu. Sedangkan ilmu pengetahuan
sebaliknya, yaitu dimulai mengkaji dengan riset, pengalaman, dan percobaan
untuk sampai kepada kebenaran yang faktual.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengetahuan
pada dasarnya adalah keadaan mental, ,mengetahui sesuatu adalah menyusun
pendapat tentang suatu objek, dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta
yang ada diluar akal. Ada dua teori untuk mengetahui hakikat
pengetahuan yaitu Realisme, teori
ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam dan idealism, ajaran idealisme
menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan
kenyataan adalah mustahil
Dalam hal ini ada beberapa
pendapat tentang sumber iulmu pengetahuan antara lain:
1.
Instuisi, Menurut Henry Bergson, instuisi
adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan
insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan
kemampuan ini (instuisi) memerlukan
suatu usaha
2. Indera
(Empirisme), Kata empiris berasal
dari bahasa Yunani yaitu empeirikos, artinya
pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui dan
pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang
dimaksud ialah pengawalan yang dimaksud ialah pengalaman inderawi
3.
Akal, Aliran ini menyatakan bahwa akal
adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur
dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek
4.
Wahyu,
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat
perantaraan para nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya,
tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperoleh. nya. Pengetahuan
mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan
diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.
B. Saran
Sesuai
dengan kesimpulan di atas penulis menyarankan agar kita memiliki kemauan untuk
belajar menuntut ilmu serta mengetahui darimana sumber-sumber pengetahuan ilmu
agar kita menjadi seorang mahasiswa/i yang
paham mengenai filsafat ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama. Jakarta: Logos
Bakker, Anton, dan
Achmad Charris. 1989. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Burhanuddin,
Salam2000. Pengantar Filsafat. Jakarta:
Bumi Aksara.
Kattsoft,
Louis O. 1996. Pengantar filsafat. Yogyakarta:
Tiara Wicana Yogya, 1996
Mustafa, H. A. 1997. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia
Suriasumantri, Jujun S. 1998.
filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1998
Tafsir, Ahmad Tafsir. 1992.
Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
[1]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta:
Logos, 1997), cet. 1, hlm. 38
[2] Ibid, hlm. 39
[3] Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1992), Cet. 2, hlm. 27
[4]
Amsal, Bakhtiar, Filsafat Ilmu,
(Jakarta: raja Grafindo Persada, 2013), Cet. XII hlm. 132
[5]
Burhanuddin, Salam, Pengantar Filsafat,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet. III, hlm. 132
[6]
Anton, Bakker dan Achmad Charris, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1989), Cet. IX, hlm. 25-26
[7]
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1992), Cet. 2, hlm. 24
[8]
Anton, Bakker dan Achmad Charris, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius), Cet. IX, hlm. 21-22
[9]
Amsal, Bakhtiar, Filsafat Ilmu,
(Jakarta: raja Grafindo Persada, 2013), Cet. XII hlm. 42
[10]
Ibid, hlm. 100
[11]
Ibid, hlm. 100
[12]
Jujun S. Suriasumantri, filsafat Ilmu, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1998), Cet. II, hlm. 52
[13]
Amsal, Bakhtiar, Filsafat Ilmu,
(Jakarta: raja Grafindo Persada, 2013), Cet. XII, hlm. 102.
[14]
Ibid, Cet. XII, hlm. 102.
[15]
Anton, Bakker dan Achmad Charris, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1989), Cet. IX, hlm. 23
[16]
Louis O. Kattsoft, Pengantar filsafat, (Yogyakarta:
Tiara Wicana Yogya, 1996), Cet. VII, hlm. 139.
[17]
Ibid, hlm. 139
[18]
Amsal, Bakhtiar, Filsafat Ilmu,
(Jakarta: raja Grafindo Persada, 2013), Cet. XII, hlm. 105
[19]
Ibid, hlm. 106.
[20]
Ibid, hlm. 107
[21]
Ibid, hlm. 109-110
[22]
H. A. Mustafa, Filsafat Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet. I. hlm. 106
No comments:
Post a Comment