Wednesday, 10 June 2020

FIQH SHALAT

FIQH SHALAT



SHALAT

A.      Pengertian Shalat

Shalat menurut bahasa dapat digunakan untuk beberapa arti, di antaranya doa dan rahmah. Sedangkan menurut istilah, ibadah adalah sesuatu yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir bagi Allah SWT dan diakhiri dengan pemberian salam.[1] Bagi umat Islam, shalat adalah perintah Allah yang wajib dilaksanakan dalam keadaan dan kondisi apa pun. Bagi yang tidak melaksanakannya, dia berdosa. Sebab, shalat lima waktu itu hukumnya fardu`ain (diwajibkan atas setiap muslim laki-laki maupun perempuan).

Shalat merupakan pembuktian diri seorang muslim untuk mengabdi kepada Allah dengan ketulusan dan kerendahan hati. Shalat merupakan ibadah yang sangat penting dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lain. Kemudian, shalat adalah amalan hamba yang pertama dihisab dan merupakan kunci untuk diterima atau ditolaknya amalan-amalan lainnya.

Shalat juga merupakan sesuatu yang terakhir lenyap dari agama. Artinya, jika ia hilang, maka hilang pulalah agama secara keseluruhannya. Orang yang meninggalkan shalat karena faktor malas ataupun kesibukkan lain, maka ulama berbedapa pendapat mengenai hal ini. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa mereka itu fasik yang dapat dijatuhi hukuman dera atau penjara, sedangkan Imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa mereka itu kafir mariq (keluar dari agama Islam) yang dihukum dengan hukuman mati. Sekalipun berbeda pendapat mengenai hal ini, yang jelas shalat tidak boleh ditinggalkan oleh setiap Muslim kapan, di mana pun, atau dalam keadaan apa pun kecuali bagi wanita yang haid dan nifas.[2]

 

B.       Syarat Sah dan Rukun Shalat

Sebelum menunaikan shalat, terlebih dahulu seseorang harus memenuhi syarat-syarat sahnya, yaitu:[3]

1.      Suci dari hadas besar dan kecil

Sabda rasulullah Saw dari Abu Hurairah r.a.

 لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأ

“Allah tidak menerima shalat salah seorang di antaramu jika berhadas sampai ia berwudhu.” (HR. Shahih Bukhari No.6440 Kitab Al-Hail).

 

2.      Suci badan, pakaian, dan tempat dari najis

Firman Allah SWT dalam surah Al-Muddatsir (74): 4,

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

Artinya: Dan pakaianmu bersihkanlah

 

3.       Menutup aurat

Aurat ditutup dengan suatu alat yang menghalangi terlihatnya warna kulit. Batas aurat yang wajib ditutup bagi laki-laki adalah pusat, lutut, dan di antara keduanya, sedangkan aurat wanita seluruh tubunhya kecuali muka dan dua telapak tangan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-A’raf: 31.

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

  

4.      Mengetahui masuknya waktu shalat

Mengetahui masuknya waktu shalat cukup dengan kuat dugaan dalam hati bahwa waktu shalat sudah masuk. Oleh sebab itu, bagi orang yang yakin atau kuat sangkaan itu, dapat diperolehnya melalui pemberitahuan bagi orang yang dipercaya seperti azan dari mu’azzin atau ijtihad seseorang yang mendatangkan keyakinan dalam hatinya seperti matahari telah tergelincir ke arah barat dari langit. Penentuan masuknya awal shalat sekarang ini sudah semakin mudah yang ditandai dengan tersedianya jadwal waktu shalat sepanjang masa dan ketersediaan jam tangan/ dinding sebagai aplikasinya.

 

5.      Menghadap kiblat

Apabila seorang yang akan melaksanakan shalat, wajib menghadap kiblat yaitu mengarahkan wajah dan tubuh ke Ka’bah di Masjid al-Haram. hali ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah(2):144:

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

Artinya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidi Haram dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

Dalam hal menghadap Ka`bah ini, bagi orang yang dapat melihat Ka`bah secara langsung wajib meenghadapnya. Bagi orang yang tidak melihatnya, wajib menghadap saja ke arahnya. Ketika menghadap kiblat ini hukumnya wajib, tetapi dalam keadaan tertentu boleh tidak menghadapnya, yaitu:

1.        Bagi orang yang dipaksa, sangat takut (bahaya), maka dapat melakukan shalat sambil berjalan atau berkendaraan.

2.        Shalat sunah bagi orang yang berkendaraan. Orang yang dalam perjalanan di atas kendaraan jika ia salat sunat di atas kendaraannya boleh menurut arah tujuan  perjalanannya walaupun tidak menghadap kiblat ketika takbiratul al-ihram.

Adapun rukun shalat itu meliputi beberapa hal, yaitu:[4]

1.      Niat

Niat dalam semua amal ibadah termasuk shalat diungkapkan dalam hati. Niat shalat berarti bermaksud akan mengerjakan shalat dengan menentukan jenis shalat yang akan dilakukan, misalnya shalat Zuhur atau Asar. Begitu pula, apakah shalat yang akan dilakukan itu wajib atau sunat, ataupun jama’ dan qasar.

2.      Berdiri dengan sikap sempurna bagi yang mampu

Bagi orang yang mampu berdiri, maka wajib hukumnya berdiri dalam shalat fardu sebagaimana firman  Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2): 238 yang berbunyi:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Artinya: Peliharalah semua shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.

Apabila tidak sanggup berdiri, shalat boleh dilakukan dengan posisi duduk. Jika tidak sanggup duduk, boleh pula berbaring. Kalau tidak sanggup juga berbaring, boleh pula dilakukan menurut kesanggupan apa adanya, misalnya dengan isyarat mata. Hal ini telah dijelaskan dalam Hadis Rasulullah SAW dari Imran Husein berbunnyi:

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ طَهْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي الْحُسَيْنُ الْمُكْتِبُ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ  

“Saya menderita penyakit Bawasir (Ambiyen), maka saya menanyakan kepada Nabi SAW mengenai shalat. Lalu sabdanya, Salatalah dengan berdiri jika tidak sanggup, duduklah dan jika tidak sanggup, berbaringlah” (HR. Shahih Bukhari no. 1050 Kitab Jumat).

3.      Takbirah al-ihram

Takbirah al-ihram ialah ucapan takbir (Allah Akbar) yang diucapakan ketika memulai shalat sebagaimana  Hadis Rasulullah SAW dari Ali r.a.:

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

 “Nabi SAW bersabda, Kunci shalat itu ialah bersuci, pembukaannya adalah membaca takbir  dan penutupannya ialah memberi salam. (HR. Sunan Tirmizi no. 3 Kitab Thaharah an Rasulillah).

Kemudian, Hadits yang lain:

قَالَ سَمِعْتُهُ وَهُوَ فِي عَشَرَةٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدُهُمْ أَبُو قَتَادَةَ بْنُ رِبْعِيٍّ قَالَ أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم كَانَ إِذَا قَامَ فِي الصَّلَاةِ اعْتَدَلَ قَائِمًا وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكَبْرُ وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ فَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ فَاعْتَدَلَ فَإِذَا قَامَ مِنْ الثِّنْتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ مَنْكِبَيْهِ كَمَا صَنَعَ حِينَ افْتَتَحَ الصَّلَاةََ

 “Abu Qatadah bin Rib’iy berkata,’Aku akan memberitahu kepadamu tentang shalat Rasulullah SAW apabila beliau berdiri untuk shalat, ia berdiri lurus dan mengangkat kedua tangannya sehingga setentang dengan kedua bahunya kemudian berkata Allah Akbar dan apabila beliau akan ruku’, ia mengangkat kedua tangannya sehigga setentang dengan kedua bahunya kemudian ia berkata sami’ullahu liman hamidah beliau mengangkat kedua tangannya dan beri’tidal dan apabila beliau berdiri dari rakaat kedua beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya setentang dengan kedua bahunya sebagaimana terjadi ketika permulaan shalat.” (HR. Sunan Ibnu Majah no. 852 Kitab Iqamah Shalat wa Sunnah Fiiha).

4.      Membaca Surah al-Fatihah

Membaca surah al-Fatihah wajib hukumnya dalam shalat pada setiap raka’at, baik shalat fardu maupun shalat sunat. Hal ini sesuai dengan Hadis dari Ubaidah ibn Samit r.a.:

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

“ Tidak ada (sah) shalat bagi orang yang tidak membaca (surah) Fatihatul Kitab.” (HR. Shahih Bukhari No. 741 Kitab Azan).

5.      Ruku’ dengan Tuma’ninah (berhenti/tenang sejenak)

Kewajiban ruku’ dalam shalat telah disepakati secara ijtihad berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Hijj (22):77:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ۩

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kemenangan.

Ruku’ terlaksana dengan membungkukkan tubuh dan kedua tangan menggenggam kedua lutut, sedangkan kaki berdiri tegak dan mata memandang ke arah tempat sujud sehingga leher dengan tulang punggung benar-benar lurus (90˚).

 

6.      I’tidal (bangkit dari ruku’ dan berdiri lurus) dengan tuma’ninah.

7.      Sujud serta tuma’ninah.

Sujud merupakan rukun pada setiap rakaat baik shalat fardu maupun shalat sunah sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Hajj ayat 77 yang telah lalu juga hadis dari Abu Hurairah r.a. ketika Nabi SAW mengatakan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ وَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ يُصَلِّي كَمَا صَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

“Sesungguhnya Rasulullah SAW memasuki masjid dan seorang laki-laki pun memasuki masjid. Lalu, ia shalat dan membaca salam atas Nabi SAW dan ingin pulang. Kemudian, Rasulullah SAW berkata,’Ulangilah salatmu sebab engkau belum salat. Lalu, ia kembali melakukan shalat seperti tadi. Kemudian ia mendatangi Nabi dan mengucapkan salam. Kemudian, Rasulullah SAW berkata lagi,’Kembalilah ulangi shalatmu sebab engkau belum shalat’. Beliau berkata itu tiga kali dan laki-laki itu berkata,’Demi Allah yang membangkitkan engkau yang tidak ada lebih baik selain-Nya dan ajarilah aku tentang itu’. Rasulullah SAW bersabda,’Apabila engkau menegakkan shalat bertakbirlah dan bacalah sesuatu yang mudah dari Al-Qur’an kemudian ruku’ dan tuma’ninah kemudian berdirilah sempurna kemudian sujud dengan tuma’ninah kemudian duduk antara dua sujud dan tuma’ninah dan lakukanlah demikian di seluruh shalatmu.” (HR. Shahih Bukhari No. 602 Kitab Shalat).

8.      Duduk di antara dua sujud dengan  tuma’ninah

9.      Sujud yang kedua kali serta tuma’ninah

10.  Duduk yang akhir sambil membaca tasyahhud

Duduk yang akhir adalah duduk untuk membaca tasyahhud dan salawat atas Nabi SAW dan keluarganya. Adapun lafaz tasyahhud yang tersebut berdasarkan Hadis Ibnu Mas’ud, yaitu:

عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَكُنَّا نَقُولُ فِي الصَّلَاةِ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّلَامُ عَلَى اللَّهِ السَّلَامُ عَلَى فُلَانٍ فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّلَامُ فَإِذَا قَعَدَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَقُلْ التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ فَإِذَا قَالَهَا أَصَابَتْ كُلَّ عَبْدٍ لِلَّهِ صَالِحٍ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنْ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنْ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْجُعْفِيُّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَنْصُورٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَ حَدِيثِهِمَا وَذَكَرَ فِي الْحَدِيثِ ثُمَّ لْيَتَخَيَّرْ بَعْدُ مِنْ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ 

“Kami duduk bersama Rasulullah SAW ketika shalat, kami membaca assalamu ʻalallahi qabla ʻibadihi, assalamu ʻala si fulan wa si fulan (sejahtera bagi Allah sebelum bagi hamba-hamba-Nya, selamat sejahtera bagi si fulan dan si fulan). Lalu, Nabi SAW bersabda, ʻJanganlah katakan selamat sejahtera bagi Allah sebab Allah sumber kesejahteraan itu sendiri. Namun, jika salah seorang kamu duduk, hendaklah ia mengucapkan,’ attahiyyatullahi wa salatu wa tayyibatu lillahi, assalamu ʻalaika ayyuhannabi warahmatullahi wa wabarakatuh assalamu ʻalana wa ʻala ʻibbadihis salihin’ (segala persembahan adalah bagi Allah , begitupun rahmat Allah serta berka-Nya. Selamat sejahtera terlima pula atas kamu dan atas hamba-hamba Allah yang berbakti)’. Oleh karena itu, jika kamu mengucapkan demikian , ia akan dapat mencapai semua hamba yang berbakti, baik di langit maupun di bumi atau sabdanya di antara langit dan bumi. Kemudian, aku mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW itu hamba dan utusan-Nya. Kemudian, masing-masing kamu memilih doa yang menarik hatinya dan berdoalah dengan itu.” (HR. Shahih Muslim No. 609 Kitab Shalat).

Kemudian, lafaz tasyahhud yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas adalah sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا التَّشَهُّدَ كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ فَكَانَ يَقُولُ التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

Nabi SAW mengajarkan tasyahhud kepada kami sebagaimana mengajarkan Al-Qur’an kepada kami. Bacaannya adalah; attahiyatul mubarakatus salawatut tayyibatullahi ʻassalamu ʻalaika ayyuhannabi wa rahmatullah wabarakatuh assalamu ʻalaina wa ʻala ʻibadikas salihin. Asyhadu allailahaillallah wa asyhadu anna Muhammadan ʻabduhu wa rasuluhu (segala persembahan yang berkah dan bakti yang baik itu adalah bagi Allah. Selamat bahagia kiranya dilimpahkan kepadamu, wahai Nabi Muhammad , begitupun rahmah Allah serta berkah-Nya. selamat bahagia kiranya dilimpahkan pula atas kami, begitupun atas hamba-hamba Allah yang berbakti. Aku mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku mengakui bahwa Muhammad itu adalah utusan-Nya).” (HR. Shahih Muslim no. 610 Kitab Salat)

11.  Membaca salawat kepada Nabi Muhammad SAW

Salawat atas Nabi dibaca ketika duduk akhir setelah membaca tasyahhud. Salawat atas Nabi sekurang-kurangnya adalah:

قِيلَيَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَّا السَّلَامُ عَلَيْكَ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ فَكَيْفَ الصَّلَاةُ عَلَيْكَ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

“Orang bertanya, Ya Rasulullah, adapun salam atas engkau sesungguhnya kami telah mengetahuinya dan bagaimana pula salawat atas engkau?. Rasulullah SAW bersabda, katakanlah,ʻAllahumma shalli ‘ala Muhammadin wa ‘ala ali Muhammadin kama shalaaita ’ala ali ibrahim innaka hamiidun majiid Allahumma baarik ‘ala ali Muhammadin kama barakta ‘ala ali ibrahim innaka hamiidun majiid’.” (HR. Shahih Bukhari no. 4423 Kitab Tafsir Al-Qur’an).

12.  Memberi salam ke kanan dan ke kiri

Membaca salam ke kanan dan ke kiri hukumnya fardu berdasarkan sabda Rasulullah SAW dan perbuatannya yang diriwayatkan dari Ali r.a. bahwa Nabi SAW bersabda:

 مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“ Nabi SAW bersabda, kunci shalat itu ialah bersuci, pembukaannya adalah membaca takbir dan penutupannya ialah memberi salam.” (HR. Syafi’i, Ahmad, Abu Daud, ibn Majah, dan Tirmidzi).

Sementara itu, sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa memberi salam itu wajib dua kali ke kanan dan ke kiri dengan dasar hadis Rasulullah SAW dari Amir ibn Sa’ad dari bapaknya berkata:

عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ صِلَةَ بْنِ زُفَرَ عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ

“Adapun Rasulullah SAW memberikan salam dari kanannya dan kirinya sehingga terlihat putih pipinya, ‘Al-salamuʻalaikum warahmatullahi al-salamu ‘alaikum warahmatullahi’.” (HR. Sunan Ibnu Majah no.906 Kitab Iqamah Salat wa Sunnah Fiila).

13.  Tertib artinya berturut-turut menurut peraturan yang ditentukan

 

C.      Shalat Fardu, Dalil, Dan Waktu Melaksanakannya

Perintah kewajiban melaksanakan shalat banyak dijumpai dalam Al-Qur’an, antara lain dalam surah al-Baqarah ayat 110:[5]

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ

Artinya: Dirikanlah salat dan tunaikan zakat

Kemudian, dalam surah al-Baqarah ayat 45:

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ

Artinya: Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu

Shalat fardhu mempunyai batas-batas tertentu yang harus digunakan unntuk menunaikannya berdasarkan firman Allah SWT dalam surah an-Nisa ayat 103:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Artinya: Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring, kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Dalam surah al-Isra’ ayat 78, Allah berfirman:

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Artinya: Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir samapai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat subuh). Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (malaikat).

Berkenaan dengan waktu-waktu yang ditentukan untuk shalat fardhu dalam Al-Qur’an telah dijelaskan secara ringkas, sedangkan lebih terinci terdapat dalam hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn ‘Umar yang berkata:[6]

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُالْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ وَوَقْتُ

صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ وَوَقْتُ صَلَاةِالصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ

“Rasulullah Saw telah bersabda, waktu zuhur ialah jika matahari telah tergelincir sampai bayang-bayang seseorang itu sama dengan bayangannya, yaitu sebelum datang waktu ashar. Waktu ashar ialaha sampai matahari belum kuning cahayanya. Waktu maghrib selama syafaq atau awan yang merah belum lenyap. Waktu shalat isya sampai tengah malam kedua, sedangkan shalat subuh mulai terbit fajar sampai terbit matahari. Jika matahari telah terbit, maka hentikanlah shalat karena saat itu ia terbit di antara kedua kedua tanduk setan.” (HR. Shahih Muslim no.966 Kitab Al-Masajid wa Mawadhi’u as-Shalat).

 

D.      Hal-Hal yang membatalkan Shalat

1.      Berbicara dengan sengaja

Berbicara dengan sengaja yang bukan ucapan yang telah ditentukan dan shalat, maka membatalkan shalat, hal ini berdasarkan hadis dari Zaid ibn Arqam yang menyatakan:

كُنَّا نَتَكَلَّمُ فيِ الصَّلاَةِ يُكَلِّمُ الرَّجُلُ مِنَّا صَاحِبَهُ وَهُوَ إِلىَ جَنْبِهِ حَتَّى نَزَلَتْ: وَقُومُوا للهِ قَانِتِيْنَ فَأُمِرْناَ بِالسُّكُوتِ وَنُهِيْنَا عَنِ الكَلاَمِ

“Kami berbicara-bicara ketika shalat. Setiap kami berbicara dengan temannya yang ada di sampingnya sehingga turun ayat, ʻwa qumuu lillahi qanitin’ (berdirilah untuk Allah dalam salatmu dengan khusyu’). Lalu, kami disuruh diam dan dilarang berbicara.” (HR. Al-Jamaah kecuali Ibnu Majah).

2.      Makan dan minum dengan sengaja

3.      Bergerak terlalu banyak dengan sengaja

4.      Sengaja meninggalkan rukun atau shalat tanpa ‘uzur

5.      Tertawa

Menurut ijma’ ulama shalat itu batal karena tertawa. Hal ini dijelaskan oleh Imam Nawawi bahwa pendapat ini dimaksudkan jika tertawa itu sampai keluar dengan jelas minimal dengan menggunakan dua buah huruf saja dari mulutnya. Demikian, yang dikutip oleh Sayid Sabiq.[7]

 

E.       Shalat Jama’ah

Shalat jama’ah adalah salat yang dilakukan minimal dua orang dengan salah seorang menjadi imam, sedangkan yang lain mengikutinya atau menjadi makmum.

Hanbali berkata bahwa shalat jama’ah itu hukumnya wajib bagi setiap individu yang mampu melaksanakannya. Namun jika ditinggalkan dan ia shalat munfarid, maka dia berdosa, sedangkan salatnya tetap sah. Hanafi dan sebagian besar ulama  Syafi’iyah menyatakan bahwa shalat berjama’ah hukumnya tidak wajib baik fardu’ain maupun fardu kifayah, tetapi hanya disunnahkan dengan sunnah al-mu’akkad (yang sangat dianjurkan Rasulullah SAW dan beliau tidak pernah meninggalkannya).

Dalam pelaksanaan shalat berjama’ah, makmum harus memenuhi syarat untuk bisa dikatakan sah berjama’ah. Syarat sah itu adalah mengikuti imam dengan perincian syarat-syarat sebagai berikut:[8]

1.      Makmum selalu mengikuti gerakan imam.

2.      Makmum tidak boleh mendahului imam dalam segala perbuatan shalat.

3.      Mengetahui gerak-gerik perbuatan imam.

4.      Keduanya (imam dan makmum) berada dalam satu tempat.

5.      Tempat berdiri makmum tidak boleh di depan dari imam

6.      Laki-laki tidak sah mengikuti imam perempuan.

7.      Imam adalah orang yang baik bacaanya.

8.      Makmum tidak boleh berimam kepada orang yang diketahuinya bahwa salatnya

batal, seperti berhadas atau bernajis.

Kemudian, orang yang berhak menjadi imam dalam salat ialah orang yang terpandai membaca Al-Qur’an. Jika merasa sama, maka yang terpandai Hadis Nabi SAW jika masih sama juga, maka yang tertua usianya. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda melalui Hadis yang diterima dari Ibnu Mas’ud r.a.:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَكْبَرُهُمْ سِنًّا وَلَا يُؤَمُّ الرَّجُلُ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا يُجْلَسُ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Orang yang lebih berhak menjadi imam bagi suatu kaum adalah yang terpandai dalam membacca Kitabullah. Jika dalam membaca itu mereka sama, maka yang terpandai dalam Hadis Nabi SAW kalau mereka sama pula, maka yang tertua usianya. Janganlah seseorang itu menjadi imam bagi orang lain di lingkungan kekuasaan mereka (orang lain). Jangan pula ia duduk di hamparan rumah orang lain, kecuali dengan izinnya (mereka)! Menurut satu riwayat lafaznya berbunyi, ʻJanganlah seseorang menjadi imam bagi orang lain di lingkungan keluarga atau kekuasaan mereka.” (HR. Sunan Tirmizi no. 218 Kitab Shalat).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Fikri, Syahruddin El. 2014. Sejarah Ibadah. Jakarta: Republika.

Hafsah. 2011. Fikih: Ibadah, Muamalat, Munakahat, Mawaris, Jinayah, Siyasyah. Medan: Ciptapustaka Media Perintis.

Nurhayati & Ali Imran Sinaga. 2019. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia Group.

Rifa’i, Moh. 1978. Fiqih Islam. Semarang: PT Karya Toha Putra.

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Hafsah, Fikih: Ibadah, Muamalat, Munakahat, Mawaris, Jinayah, Siyasyah, (Bandung: Ciptapustaka Media Perintis, 2011), hlm.42

[2] Nurhayati & Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Pramedia Group, 2019), hlm. 86

[3] Ibid, hlm.87-89

[4] Moh. Rifa’i, Fiqih Islam, (Semarang: Pt Karya Toha Putra, 1978), hlm. 91-96

[5] Hafsah, Fikih: Ibadah, Muamalat, Munakahat, Mawaris, Jinayah, Siyasyah, (Bandung: Ciptapustaka Media Perintis, 2011), hlm.53

[6] Nurhayati & Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Pramedia Group, 2019), hlm. 99

 

[7] Nurhayati & Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Pramedia Group, 2019), hlm. 100

[8] Ibid, hlm.101


No comments:

Post a Comment

TOKOH TASAWUF DI INDONESIA

BAB II PEMBAHASAN A.     TOKOH TASAWUF DI INDONESIA Berikut merupakan beberapa tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia: 1.       Hamzah Fan...