FIQH SHALAT
SHALAT
A.
Pengertian
Shalat
Shalat
menurut bahasa dapat digunakan untuk beberapa arti, di antaranya doa dan
rahmah. Sedangkan menurut istilah, ibadah adalah sesuatu yang terdiri dari
perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir bagi Allah SWT dan
diakhiri dengan pemberian salam.[1] Bagi
umat Islam, shalat adalah perintah Allah yang wajib dilaksanakan dalam keadaan
dan kondisi apa pun. Bagi yang tidak melaksanakannya, dia berdosa. Sebab, shalat
lima waktu itu hukumnya fardu`ain (diwajibkan atas setiap muslim laki-laki
maupun perempuan).
Shalat
merupakan pembuktian diri seorang muslim untuk mengabdi kepada Allah dengan
ketulusan dan kerendahan hati. Shalat merupakan ibadah yang sangat penting
dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lain. Kemudian, shalat adalah amalan
hamba yang pertama dihisab dan merupakan kunci untuk diterima atau ditolaknya
amalan-amalan lainnya.
Shalat
juga merupakan sesuatu yang terakhir lenyap dari agama. Artinya, jika ia
hilang, maka hilang pulalah agama secara keseluruhannya. Orang yang
meninggalkan shalat karena faktor malas ataupun kesibukkan lain, maka ulama
berbedapa pendapat mengenai hal ini. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat
bahwa mereka itu fasik yang dapat
dijatuhi hukuman dera atau penjara, sedangkan Imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat
bahwa mereka itu kafir mariq (keluar
dari agama Islam) yang dihukum dengan hukuman mati. Sekalipun berbeda pendapat
mengenai hal ini, yang jelas shalat tidak boleh ditinggalkan oleh setiap Muslim
kapan, di mana pun, atau dalam keadaan apa pun kecuali bagi wanita yang haid
dan nifas.[2]
B. Syarat
Sah dan Rukun Shalat
Sebelum
menunaikan shalat, terlebih dahulu seseorang harus memenuhi syarat-syarat
sahnya, yaitu:[3]
1. Suci
dari hadas besar dan kecil
Sabda rasulullah Saw dari
Abu Hurairah r.a.
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ
إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأ
“Allah tidak menerima shalat salah
seorang di antaramu jika berhadas sampai ia berwudhu.” (HR. Shahih Bukhari No.6440
Kitab Al-Hail).
2. Suci
badan, pakaian, dan tempat dari najis
Firman Allah SWT dalam
surah Al-Muddatsir (74): 4,
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Artinya: Dan pakaianmu bersihkanlah
3. Menutup aurat
Aurat
ditutup dengan suatu alat yang menghalangi terlihatnya warna kulit. Batas aurat
yang wajib ditutup bagi laki-laki adalah pusat, lutut, dan di antara keduanya,
sedangkan aurat wanita seluruh tubunhya kecuali muka dan dua telapak tangan,
sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-A’raf: 31.
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ
مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ
الْمُسْرِفِينَ
Artinya:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan
dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan.
4. Mengetahui
masuknya waktu shalat
Mengetahui
masuknya waktu shalat cukup dengan kuat dugaan dalam hati bahwa waktu shalat
sudah masuk. Oleh sebab itu, bagi orang yang yakin atau kuat sangkaan itu,
dapat diperolehnya melalui pemberitahuan bagi orang yang dipercaya seperti azan
dari mu’azzin atau ijtihad seseorang yang mendatangkan
keyakinan dalam hatinya seperti matahari telah tergelincir ke arah barat dari
langit. Penentuan masuknya awal shalat sekarang ini sudah semakin mudah yang
ditandai dengan tersedianya jadwal waktu shalat sepanjang masa dan ketersediaan
jam tangan/ dinding sebagai aplikasinya.
5. Menghadap
kiblat
Apabila
seorang yang akan melaksanakan shalat, wajib menghadap kiblat yaitu
mengarahkan wajah dan tubuh ke Ka’bah di Masjid al-Haram. hali
ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah(2):144:
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ
وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
Artinya:
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami
akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidi Haram dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan
sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan
Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar
dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan.
Dalam
hal menghadap Ka`bah ini, bagi orang yang dapat melihat Ka`bah
secara langsung wajib meenghadapnya. Bagi orang yang tidak melihatnya, wajib
menghadap saja ke arahnya. Ketika menghadap kiblat ini hukumnya wajib, tetapi
dalam keadaan tertentu boleh tidak menghadapnya, yaitu:
1.
Bagi orang yang dipaksa,
sangat takut (bahaya), maka dapat melakukan shalat sambil berjalan atau
berkendaraan.
2.
Shalat sunah bagi orang
yang berkendaraan. Orang yang dalam perjalanan di atas kendaraan jika ia salat
sunat di atas kendaraannya boleh menurut arah tujuan perjalanannya walaupun tidak menghadap kiblat
ketika takbiratul al-ihram.
Adapun
rukun shalat itu meliputi beberapa hal, yaitu:[4]
1. Niat
Niat
dalam semua amal ibadah termasuk shalat diungkapkan dalam hati. Niat shalat
berarti bermaksud akan mengerjakan shalat dengan menentukan jenis shalat yang
akan dilakukan, misalnya shalat Zuhur atau Asar. Begitu pula, apakah shalat
yang akan dilakukan itu wajib atau sunat, ataupun jama’ dan qasar.
2. Berdiri
dengan sikap sempurna bagi yang mampu
Bagi
orang yang mampu berdiri, maka wajib hukumnya berdiri dalam shalat fardu
sebagaimana firman Allah SWT dalam surah
al-Baqarah (2): 238 yang berbunyi:
حَافِظُوا
عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Artinya:
Peliharalah semua shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk
Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.
Apabila
tidak sanggup berdiri, shalat boleh dilakukan dengan posisi duduk. Jika tidak
sanggup duduk, boleh pula berbaring. Kalau tidak sanggup juga berbaring, boleh
pula dilakukan menurut kesanggupan apa adanya, misalnya dengan isyarat mata.
Hal ini telah dijelaskan dalam Hadis Rasulullah SAW dari Imran Husein
berbunnyi:
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ
بْنِ طَهْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي الْحُسَيْنُ الْمُكْتِبُ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ
فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبٍ
“Saya
menderita penyakit Bawasir (Ambiyen), maka saya menanyakan kepada Nabi SAW
mengenai shalat. Lalu sabdanya, Salatalah dengan berdiri jika tidak sanggup,
duduklah dan jika tidak sanggup, berbaringlah” (HR. Shahih Bukhari no. 1050
Kitab Jumat).
3. Takbirah
al-ihram
Takbirah
al-ihram ialah ucapan takbir (Allah Akbar) yang diucapakan ketika memulai shalat
sebagaimana Hadis Rasulullah SAW dari
Ali r.a.:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ
الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Nabi SAW bersabda, Kunci shalat itu ialah
bersuci, pembukaannya adalah membaca takbir
dan penutupannya ialah memberi salam. (HR. Sunan Tirmizi no. 3 Kitab
Thaharah an Rasulillah).
Kemudian,
Hadits yang lain:
قَالَ
سَمِعْتُهُ وَهُوَ فِي عَشَرَةٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدُهُمْ أَبُو قَتَادَةَ بْنُ رِبْعِيٍّ قَالَ أَنَا
أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم كَانَ
إِذَا قَامَ فِي الصَّلَاةِ اعْتَدَلَ قَائِمًا وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى
يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكَبْرُ وَإِذَا أَرَادَ
أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ فَإِذَا
قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ فَاعْتَدَلَ فَإِذَا قَامَ
مِنْ الثِّنْتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ مَنْكِبَيْهِ
كَمَا صَنَعَ حِينَ افْتَتَحَ الصَّلَاةََ
“Abu Qatadah bin Rib’iy berkata,’Aku akan
memberitahu kepadamu tentang shalat Rasulullah SAW apabila beliau berdiri untuk
shalat, ia berdiri lurus dan mengangkat kedua tangannya sehingga setentang
dengan kedua bahunya kemudian berkata Allah Akbar dan apabila beliau akan
ruku’, ia mengangkat kedua tangannya sehigga setentang dengan kedua bahunya
kemudian ia berkata sami’ullahu liman hamidah beliau mengangkat kedua tangannya
dan beri’tidal dan apabila beliau berdiri dari rakaat kedua beliau bertakbir
dan mengangkat kedua tangannya setentang dengan kedua bahunya sebagaimana
terjadi ketika permulaan shalat.” (HR. Sunan Ibnu Majah no. 852 Kitab Iqamah Shalat
wa Sunnah Fiiha).
4. Membaca
Surah al-Fatihah
Membaca
surah al-Fatihah wajib hukumnya dalam shalat pada setiap raka’at, baik shalat
fardu maupun shalat sunat. Hal ini sesuai dengan Hadis dari Ubaidah ibn Samit
r.a.:
لَا
صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“
Tidak ada (sah) shalat bagi orang yang tidak membaca (surah) Fatihatul Kitab.”
(HR. Shahih Bukhari No. 741 Kitab Azan).
5. Ruku’
dengan Tuma’ninah (berhenti/tenang sejenak)
Kewajiban
ruku’ dalam shalat telah disepakati secara ijtihad berdasarkan firman Allah SWT
dalam surat al-Hijj (22):77:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا
وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
۩
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu
dan perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
Ruku’
terlaksana dengan membungkukkan tubuh dan kedua tangan menggenggam kedua lutut,
sedangkan kaki berdiri tegak dan mata memandang ke arah tempat sujud sehingga
leher dengan tulang punggung benar-benar lurus (90˚).
6. I’tidal
(bangkit dari ruku’ dan berdiri lurus) dengan tuma’ninah.
7. Sujud
serta tuma’ninah.
Sujud
merupakan rukun pada setiap rakaat baik shalat fardu maupun shalat sunah
sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Hajj ayat 77 yang telah lalu juga
hadis dari Abu Hurairah r.a. ketika Nabi SAW mengatakan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ
فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَرَدَّ وَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ
يُصَلِّي كَمَا صَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا
فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي
فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ
مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ
حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ
ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
“Sesungguhnya Rasulullah
SAW memasuki masjid dan seorang laki-laki pun memasuki masjid. Lalu, ia shalat
dan membaca salam atas Nabi SAW dan ingin pulang. Kemudian, Rasulullah SAW
berkata,’Ulangilah salatmu sebab engkau belum salat. Lalu, ia kembali melakukan
shalat seperti tadi. Kemudian ia mendatangi Nabi dan mengucapkan salam.
Kemudian, Rasulullah SAW berkata lagi,’Kembalilah ulangi shalatmu sebab engkau
belum shalat’. Beliau berkata itu tiga kali dan laki-laki itu berkata,’Demi Allah
yang membangkitkan engkau yang tidak ada lebih baik selain-Nya dan ajarilah aku
tentang itu’. Rasulullah SAW bersabda,’Apabila engkau menegakkan shalat
bertakbirlah dan bacalah sesuatu yang mudah dari Al-Qur’an kemudian ruku’ dan
tuma’ninah kemudian berdirilah sempurna kemudian sujud dengan tuma’ninah
kemudian duduk antara dua sujud dan tuma’ninah dan lakukanlah demikian di
seluruh shalatmu.” (HR. Shahih Bukhari No. 602 Kitab Shalat).
8. Duduk
di antara dua sujud dengan tuma’ninah
9. Sujud
yang kedua kali serta tuma’ninah
10. Duduk
yang akhir sambil membaca tasyahhud
Duduk
yang akhir adalah duduk untuk membaca tasyahhud dan salawat atas Nabi SAW dan
keluarganya. Adapun lafaz tasyahhud yang tersebut berdasarkan Hadis Ibnu
Mas’ud, yaitu:
عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
قَالَكُنَّا نَقُولُ فِي الصَّلَاةِ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّلَامُ عَلَى اللَّهِ السَّلَامُ عَلَى فُلَانٍ فَقَالَ
لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِنَّ
اللَّهَ هُوَ السَّلَامُ فَإِذَا قَعَدَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَقُلْ
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ
أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا
وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ فَإِذَا قَالَهَا أَصَابَتْ كُلَّ عَبْدٍ
لِلَّهِ صَالِحٍ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنْ
الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ
قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ
بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنْ
الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ
الْجُعْفِيُّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَنْصُورٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَ
حَدِيثِهِمَا وَذَكَرَ فِي الْحَدِيثِ ثُمَّ لْيَتَخَيَّرْ بَعْدُ مِنْ
الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ
“Kami
duduk bersama Rasulullah SAW ketika shalat, kami membaca assalamu ʻalallahi qabla ʻibadihi, assalamu ʻala si fulan wa si fulan
(sejahtera bagi Allah sebelum bagi hamba-hamba-Nya, selamat sejahtera bagi si
fulan dan si fulan). Lalu, Nabi SAW bersabda, ʻJanganlah katakan selamat
sejahtera bagi Allah sebab Allah sumber kesejahteraan itu sendiri. Namun, jika
salah seorang kamu duduk, hendaklah ia mengucapkan,’ attahiyyatullahi wa salatu wa tayyibatu lillahi, assalamu ʻalaika
ayyuhannabi warahmatullahi wa wabarakatuh assalamu ʻalana wa ʻala ʻibbadihis
salihin’ (segala persembahan adalah bagi Allah , begitupun rahmat Allah
serta berka-Nya. Selamat sejahtera terlima pula atas kamu dan atas hamba-hamba
Allah yang berbakti)’. Oleh karena itu, jika kamu mengucapkan demikian , ia
akan dapat mencapai semua hamba yang berbakti, baik di langit maupun di bumi
atau sabdanya di antara langit dan bumi. Kemudian, aku mengakui bahwa tiada
tuhan selain Allah dan aku mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW itu hamba dan
utusan-Nya. Kemudian, masing-masing kamu memilih doa yang menarik hatinya dan
berdoalah dengan itu.” (HR. Shahih Muslim No. 609 Kitab Shalat).
Kemudian,
lafaz tasyahhud yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas adalah sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا التَّشَهُّدَ كَمَا
يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ فَكَانَ يَقُولُ التَّحِيَّاتُ
الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى
عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
Nabi SAW mengajarkan
tasyahhud kepada kami sebagaimana mengajarkan Al-Qur’an kepada kami. Bacaannya
adalah; attahiyatul mubarakatus salawatut tayyibatullahi ʻassalamu ʻalaika
ayyuhannabi wa rahmatullah wabarakatuh assalamu ʻalaina wa ʻala ʻibadikas
salihin. Asyhadu allailahaillallah wa asyhadu anna Muhammadan ʻabduhu wa
rasuluhu (segala persembahan yang berkah dan bakti yang baik itu adalah
bagi Allah. Selamat bahagia kiranya dilimpahkan kepadamu, wahai Nabi Muhammad ,
begitupun rahmah Allah serta berkah-Nya. selamat bahagia kiranya dilimpahkan
pula atas kami, begitupun atas hamba-hamba Allah yang berbakti. Aku mengakui
bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku mengakui bahwa Muhammad itu adalah utusan-Nya).”
(HR. Shahih Muslim no. 610 Kitab Salat)
11. Membaca
salawat kepada Nabi Muhammad SAW
Salawat atas Nabi dibaca
ketika duduk akhir setelah membaca tasyahhud. Salawat atas Nabi
sekurang-kurangnya adalah:
قِيلَيَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَّا السَّلَامُ عَلَيْكَ
فَقَدْ عَرَفْنَاهُ فَكَيْفَ الصَّلَاةُ عَلَيْكَ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ
إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Orang bertanya, Ya
Rasulullah, adapun salam atas engkau sesungguhnya kami telah mengetahuinya dan
bagaimana pula salawat atas engkau?. Rasulullah SAW bersabda, katakanlah,ʻAllahumma
shalli ‘ala Muhammadin wa ‘ala ali Muhammadin kama shalaaita ’ala ali ibrahim
innaka hamiidun majiid Allahumma baarik ‘ala ali Muhammadin kama barakta ‘ala
ali ibrahim innaka hamiidun majiid’.” (HR. Shahih Bukhari no. 4423 Kitab
Tafsir Al-Qur’an).
12. Memberi
salam ke kanan dan ke kiri
Membaca salam ke kanan
dan ke kiri hukumnya fardu berdasarkan sabda Rasulullah SAW dan perbuatannya
yang diriwayatkan dari Ali r.a. bahwa Nabi SAW bersabda:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ
وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“ Nabi SAW bersabda,
kunci shalat itu ialah bersuci, pembukaannya adalah membaca takbir dan
penutupannya ialah memberi salam.” (HR. Syafi’i, Ahmad, Abu Daud, ibn Majah,
dan Tirmidzi).
Sementara itu, sebagian
ulama yang lain mengatakan bahwa memberi salam itu wajib dua kali ke kanan dan
ke kiri dengan dasar hadis Rasulullah SAW dari Amir ibn Sa’ad dari bapaknya
berkata:
عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ صِلَةَ بْنِ
زُفَرَ عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ حَتَّى يُرَى
بَيَاضُ خَدِّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَةُ اللَّهِ
“Adapun Rasulullah SAW
memberikan salam dari kanannya dan kirinya sehingga terlihat putih pipinya, ‘Al-salamuʻalaikum
warahmatullahi al-salamu ‘alaikum warahmatullahi’.” (HR. Sunan Ibnu Majah
no.906 Kitab Iqamah Salat wa Sunnah Fiila).
13. Tertib
artinya berturut-turut menurut peraturan yang ditentukan
C. Shalat
Fardu, Dalil, Dan Waktu Melaksanakannya
Perintah kewajiban
melaksanakan shalat banyak dijumpai dalam Al-Qur’an, antara lain dalam surah
al-Baqarah ayat 110:[5]
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ
Artinya: Dirikanlah salat dan tunaikan
zakat
Kemudian, dalam surah al-Baqarah ayat 45:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا
لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Artinya: Jadikanlah sabar dan salat
sebagai penolongmu
Shalat fardhu mempunyai
batas-batas tertentu yang harus digunakan unntuk menunaikannya berdasarkan
firman Allah SWT dalam surah an-Nisa ayat 103:
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا
وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Artinya: Maka apabila
kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu
duduk dan di waktu berbaring, kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka
dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
Dalam surah al-Isra’ ayat 78, Allah
berfirman:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ
وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Artinya: Dirikanlah shalat
sesudah matahari tergelincir samapai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat
subuh). Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (malaikat).
Berkenaan dengan
waktu-waktu yang ditentukan untuk shalat fardhu dalam Al-Qur’an telah dijelaskan
secara ringkas, sedangkan lebih terinci terdapat dalam hadis Rasulullah SAW
yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn ‘Umar yang berkata:[6]
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا
لَمْ يَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُالْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ
صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ وَوَقْتُ
صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ
وَوَقْتُ صَلَاةِالصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ
فَإِذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ
بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ
“Rasulullah Saw telah bersabda, waktu
zuhur ialah jika matahari telah tergelincir sampai bayang-bayang seseorang itu
sama dengan bayangannya, yaitu sebelum datang waktu ashar. Waktu ashar ialaha
sampai matahari belum kuning cahayanya. Waktu maghrib selama syafaq atau awan
yang merah belum lenyap. Waktu shalat isya sampai tengah malam kedua, sedangkan
shalat subuh mulai terbit fajar sampai terbit matahari. Jika matahari telah
terbit, maka hentikanlah shalat karena saat itu ia terbit di antara kedua kedua
tanduk setan.” (HR. Shahih Muslim no.966 Kitab Al-Masajid wa Mawadhi’u as-Shalat).
D. Hal-Hal
yang membatalkan Shalat
1. Berbicara
dengan sengaja
Berbicara dengan sengaja
yang bukan ucapan yang telah ditentukan dan shalat, maka membatalkan shalat,
hal ini berdasarkan hadis dari Zaid ibn Arqam yang menyatakan:
كُنَّا نَتَكَلَّمُ فيِ الصَّلاَةِ يُكَلِّمُ
الرَّجُلُ مِنَّا صَاحِبَهُ وَهُوَ إِلىَ جَنْبِهِ حَتَّى نَزَلَتْ: وَقُومُوا
للهِ قَانِتِيْنَ فَأُمِرْناَ بِالسُّكُوتِ وَنُهِيْنَا عَنِ الكَلاَمِ
“Kami berbicara-bicara ketika shalat.
Setiap kami berbicara dengan temannya yang ada di sampingnya sehingga turun
ayat, ʻwa qumuu lillahi qanitin’ (berdirilah untuk Allah dalam salatmu
dengan khusyu’). Lalu, kami disuruh diam dan dilarang berbicara.” (HR. Al-Jamaah
kecuali Ibnu Majah).
2. Makan
dan minum dengan sengaja
3. Bergerak
terlalu banyak dengan sengaja
4. Sengaja
meninggalkan rukun atau shalat tanpa ‘uzur
5. Tertawa
Menurut ijma’ ulama shalat
itu batal karena tertawa. Hal ini dijelaskan oleh Imam Nawawi bahwa pendapat
ini dimaksudkan jika tertawa itu sampai keluar dengan jelas minimal dengan
menggunakan dua buah huruf saja dari mulutnya. Demikian, yang dikutip oleh
Sayid Sabiq.[7]
E. Shalat
Jama’ah
Shalat jama’ah adalah salat yang dilakukan
minimal dua orang dengan salah seorang menjadi imam, sedangkan yang lain
mengikutinya atau menjadi makmum.
Hanbali berkata bahwa shalat
jama’ah itu hukumnya wajib bagi
setiap individu yang mampu melaksanakannya. Namun jika ditinggalkan dan ia shalat
munfarid, maka dia berdosa, sedangkan
salatnya tetap sah. Hanafi dan sebagian besar ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa shalat berjama’ah
hukumnya tidak wajib baik fardu’ain
maupun fardu kifayah, tetapi hanya
disunnahkan dengan sunnah al-mu’akkad (yang sangat dianjurkan Rasulullah SAW
dan beliau tidak pernah meninggalkannya).
Dalam pelaksanaan shalat
berjama’ah, makmum harus memenuhi syarat untuk bisa dikatakan sah berjama’ah.
Syarat sah itu adalah mengikuti imam dengan perincian syarat-syarat sebagai
berikut:[8]
1. Makmum
selalu mengikuti gerakan imam.
2. Makmum
tidak boleh mendahului imam dalam segala perbuatan shalat.
3. Mengetahui
gerak-gerik perbuatan imam.
4. Keduanya
(imam dan makmum) berada dalam satu tempat.
5. Tempat
berdiri makmum tidak boleh di depan dari imam
6. Laki-laki
tidak sah mengikuti imam perempuan.
7. Imam
adalah orang yang baik bacaanya.
8. Makmum
tidak boleh berimam kepada orang yang diketahuinya bahwa salatnya
batal, seperti berhadas atau bernajis.
Kemudian, orang yang
berhak menjadi imam dalam salat ialah orang yang terpandai membaca Al-Qur’an.
Jika merasa sama, maka yang terpandai Hadis Nabi SAW jika masih sama juga, maka
yang tertua usianya. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda melalui Hadis yang
diterima dari Ibnu Mas’ud r.a.:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي
الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ
سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً
فَأَكْبَرُهُمْ سِنًّا وَلَا يُؤَمُّ الرَّجُلُ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا يُجْلَسُ
عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Orang yang lebih berhak
menjadi imam bagi suatu kaum adalah yang terpandai dalam membacca Kitabullah.
Jika dalam membaca itu mereka sama, maka yang terpandai dalam Hadis Nabi SAW
kalau mereka sama pula, maka yang tertua usianya. Janganlah seseorang itu
menjadi imam bagi orang lain di lingkungan kekuasaan mereka (orang lain).
Jangan pula ia duduk di hamparan rumah orang lain, kecuali dengan izinnya
(mereka)! Menurut satu riwayat lafaznya berbunyi, ʻJanganlah seseorang menjadi
imam bagi orang lain di lingkungan keluarga atau kekuasaan mereka.” (HR. Sunan
Tirmizi no. 218 Kitab Shalat).
DAFTAR PUSTAKA
Fikri, Syahruddin El.
2014. Sejarah Ibadah. Jakarta: Republika.
Hafsah. 2011. Fikih:
Ibadah, Muamalat, Munakahat, Mawaris, Jinayah, Siyasyah. Medan:
Ciptapustaka Media Perintis.
Nurhayati & Ali Imran
Sinaga. 2019. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia Group.
Rifa’i, Moh. 1978. Fiqih
Islam. Semarang: PT Karya Toha Putra.
[1] Hafsah, Fikih: Ibadah, Muamalat, Munakahat, Mawaris, Jinayah,
Siyasyah, (Bandung: Ciptapustaka Media Perintis, 2011), hlm.42
[2] Nurhayati & Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh,
(Jakarta: Pramedia Group, 2019), hlm. 86
[3] Ibid, hlm.87-89
[4] Moh. Rifa’i, Fiqih Islam, (Semarang: Pt Karya Toha Putra,
1978), hlm. 91-96
[5] Hafsah, Fikih: Ibadah, Muamalat, Munakahat, Mawaris, Jinayah,
Siyasyah, (Bandung: Ciptapustaka Media Perintis, 2011), hlm.53
[6] Nurhayati & Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh,
(Jakarta: Pramedia Group, 2019), hlm. 99
[7] Nurhayati & Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh,
(Jakarta: Pramedia Group, 2019), hlm. 100
[8] Ibid, hlm.101
No comments:
Post a Comment