SEJARAH MUNCULNYA TASAWUF
DAFTAR
ISI
Hal
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR
ISI........................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A. Latar
Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah ......................................................................................... 1
C. Tujuan
Penulisan ........................................................................................... 1
D. Ruang
Lingkup .............................................................................................. 2
BAB
II SEJARAH MUNCULNYA TASAWUF ............................................... 3
A.
Sejarah Perkembangan Tasawuf pada Zaman Yunani ................................. 3
B. Tasawuf
Pada Abad Pertengahan................................................................... 6
C. Sejarah
Tasawuf pada Bangsa Arab Sebelum Islam ..................................... 7
D. Sejarah
Tasawuf pada Bangsa Arab Setelah Islam ....................................... 7
E.
Tasawuf Pada Zaman Baru
(Barat)................................................................ 10
BAB
III PENUTUP ............................................................................................. 13
A.
Simpulan......................................................................................................... 13
B. Saran............................................................................................................... 13
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawuf
merupakan salah satu aspek Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti
kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan
tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah
saw, namun tasawuf sebenarnya sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan
Islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid.
Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu
hanyalah sebutan sahabat nabi.
Sebelum
adanya aliran dalam istilah tasawuf memiliki beberapa faktor dan berbagai macam
alirannya.
Oleh
karena itu, pada makalah ini akan dibahas tentang faktor faktor kemunculan
aliran tasawuf.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah perkembangan akhlak tasawuf pada zaman Yunani?
2. Bagaimana
akhlak tasawuf pada abad pertengahan?
3. Bagaimana
sejarah akhlak tasawuf pada bangsa arab sebelum islam?
4. Bagaimana
sejarah akhlak tasawuf pada bangsa arab setelah islam?
5. Bagaimana
sejarah akhlak tasawuf pada zaman baru (barat)?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui sejarah perkembangan akhlak tasawuf pada zaman Yunani
2. Untuk
mengetahui akhlak tasawuf pada abad pertengahan
3. Untuk
mengetahui sejarah akhlak tasawuf pada bangsa arab sebelum islam
4. Untuk
mengetahui sejarah akhlak tasawuf pada bangsa arab setelah islam
5. Untuk
mengetahui sejarah akhlak tasawuf pada zaman baru (barat)
D.
Ruang Lingkup
Makalah
ini hanya membahas tentang, sejarah perkembangan akhlak pada zaman Yunani,
akhlak tasawuf pada abad pertengahan, sejarah akhlak tasawuf pada bangsa arab
sebelum islam, sejarah akhlak tasawuf setelah islam, sejarah akhlak tasawuf
pada zaman baru (barat).
BAB II
SEJARAH MUNCULNYA TASAWUF
A.
Sejarah
Perkembangan Akhlak Tasawuf Pada Zaman Yunani
Pertumbuhan
dan perkembangan ilmu akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya
apa yang disebut Sophisticians, yaitu
orang-orang yang bijaksana (500-450 SM). Sedangkan sebelum itu dikalangan
bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu
perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam.[1]
Adapun
tokoh-tokoh pada zaman Yunani yang membicarakan tentang akhlak tasawuf, yaitu:[2]
1. Tokoh-tokoh
Sofistik (500-450 SM)
Para filsuf Yunani Kuno
tidak banyak memperhatikan akhlak. Mereka lebih banyak menaruh perhatian
terhadap alam. Hal itu terjadi sebelum kemunculan tokoh-tokoh Sofistik (500-450
SM). Mereka adalah ahli filsafat dan menjadi guru di beberapa negeri. Walaupun
berbeda beda, pikiran, dan pendapat mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu
menyiapkan angkatan muda bangsa Yunani untuk menjadi nasionalis yang baik,
merdeka, dan mengetahui kewajiban mereka terhadapa tanah airnya.
Pandangan para tokoh
Sofistik mengenai kewajiban ini memunculkan pandangan mengenai prinsip-prinsip
akhlak yang diikuti dengan berbagai kecaman terhadap sebagian tradisi lama dan
pelajaran-pelajaran yang diberikan generasi sebelumnya. Hal ini temtu
membangkitkan kemarahan kaum konservatif.
2. Socrates
(469-399 SM)
Di antara sekian banyak
ahli fikih Yunani yang menyingkapkan pengetahuan akhlak adalah Socrates
(469-399 SM). Ia melakukan penyelidikan terhadap akhlak dan hubungan
antarmanusia. Ia tidak menaruh minat terhadap alam dan benda-benda langit yang
menjadi objek penyelidikan para filsuf Yunani sebelumnya. Ia menganggap bahwa
menyelidiki objek-objek tersebut tidak berguna. Ia berpendapat bahwa yang
seharusnya dipikirkan adalah tindakan-tindakan mengenai kehidupan. Atas dasar
pemikirannya itu, terkenallah ungkapan “Socrates menurunkan filsafat dari
langit ke bumi.”
Socrates didaulat sebagai
perintis ilmu akhlak Yunani yang pertama. Alasannya, ia adalah tokoh pertama
yang bersungguh-sungguh mengaitkan manusia dengan prinsip ilmu pengetahuan. Ia
berpendapat bahwa akhlak dalam kaitannya dengan hubungan antarmanusia harus
didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ia mengatakan bahwa keutamaan itu terdapat
pada ilmu. Tidak ditemukan pandangannya tentang tujuan akhir akhlak atau ukuran
yang digunakan untuk menilai suatu perbuatan apakah baik atau buruk. Oleh
karena itu, tidak heran jika kemudian bermunculan berbagai pendapat tentang
tujuan akhlak walaupun sama-sama disandarkan pada Socrates.
3. Cynics
dan Cyrenics
Cynics dan Cyrenics
adalah para pengikut Socrates, tetapi ajaran keduanya bertolak belakang.
Kelompok Cynics hidup pada tahun 444-370 SM. Di antara ajarannya adalah bahwa
tuhan dibersihkan dari segala kebutuhan dan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah
yang memiliki perangai akhlak ketuhanan.
Adapun kelompok Cyrenics
di pimpin Aristipus (435-356 SM) yang dilahirkan di Cyrena (Kota di Barkah) di
Utara Afrika. Kelompok ini berpendapat bahwa mencari kelezatan dan menjauhi
kepedihan adalah satu-satunya tujuan hidup yang benar. Suatu perbuatan di nilai
utama apabila lebih banyak mendatangkan kelezatan daripada kepedihan.
4. Plato
(427-347 SM)
Plato adalah seorang
filsuf dari Athena dan merupakan murid dari Socrates.. di antara karyanya yang
terkenal berjudul Republic berisi
dialog plato dengan lawan debatnya. Buah pikirannya tentang akhlak terselip di
tengah buah pikirannya mengenai filsafat.
Pandangan plato mengenai
akhlak didasarkan pada teori “model” (paradigma). Jelasnya, ia berpendapat
bahwa dibalik alam ini ada alam rohani (alam ideal) sebagai contoh bagi alam
konkret. Benda-benda konkrit itu merupakan gambaran tak sempurna yanng menyerupai
model tersebut. Keterkaitan antara alam ideal dan alam konkrit ini dijelaskan
plato melalui materi akhlak. Ia menjelaskan bahwa contoh keterkaitan ini
terdapat pada kebaikan, yaitu arti mutlak, azali, kekal, dan sempurna. Manusia
yang dekat dengan kebaikan akan memperoleh cahaya dan lebih dekat pada
kesempurnaan. Untuk memahami gambaran ini diperlukan latihan jiwa dan akal.
Oleh karena itu, hanya ahli pikirlah (ahli filsafat) yang mengetahui arti
keutamaan dalam bentuknya yang baik.
5. Aristoteles
(394-322 SM)
Aristoteles adalah murid
Plato yang membangun suatu paham khas. Pengikutnya diberi nama dengan
“Paripatetics” karena Socrates memberikan pelajaran sambil berjalan atau karena
ia memberikan pelajaran di tempat-tempat terbuka yang teduh.
6. Agama
Nasrani
Pada akhir ketiga Masehi,
tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama itu dapat mengubah pikiran manusia dan
membawa pokok-pokok akhlak yang tercantum di dalam Taurat. Demikian juga, agama
itu memberi pelajaran kepada manusia bahwa Tuhan merupakan sumber segala
akhlak. Tuhan yang memberi segala patokan yang harus kita pelihara dalam bentuk
interaksi di antara kita. Tuhan-lah yang menjelaskan arti baik dan buruk. Baik
menurut arti yang sebenarnya, adalah kerelaan Tuhan dan melaksanakan
perintah-perintah-Nya.
Kedudukan para pendeta
sama dengan kedudukan para filsuf di Yunani. Sebagian ajaran mereka sesuai
ajaran para filsuf, Yunani, terutama Stoics. Tidak banyak perbedaan antara
kedua kelompok ini dalam persoalan baik dan buruk. Perbedaan antara keduanya
diantanya pada persoalan dorongan jiwa dalam melakukan perbuatan. Menurut para
filsuf Yunani, pendorong untuk melakukan perbuatan baik adalah ilmu pengetahuan
atau kebijaksanaan, sedangkan menurut agama nasrani, pendorong untuk melakukan
perbuatan baik adalah cinta kepada Tuhan dan iman kepada-Nya.
Agama nasrani mendorong
manusia bersungguh-sungguh mensucikan diri, baik pikiran maupun perbuatannya.
Agama adalah roh yang mengendalikan badan dan syahwat. Oleh karena itu,
sebagian pengikut agama ini menelantarkan badan, menghindari dunia, suka hidup
zuhud, dan ibadah dalam kesendirian.
B.
Akhlak
Tasawuf Pada Abad Pertengahan
Kehidupan masyarakat
Eropa pada abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu, gereja
berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran ilmu dan
kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima
dari wahyu. Apa yang telah diperintahkan oleh wahyu tentu benar. Oleh karena
itu, tidak ada artinya lagi penggunaan akal dan pikiran untuk kegiatan penelitian.
Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan tentang doktrin
yang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki perasaan dan menguatkan pendapat
gereja. Diluar ketentuan seperti itu, penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Sekalipun demikian,
sebagian dari kalangan gereja mempergunakan pemikiran Plato, Aristoteles, dan
Stoics untuk memperkuat ajaran gereja, dan mencocokkannya dengan akal. Adapun
fisafat yang menentang agama nasrani dibuang jauh-jauh.
Dengan demikian, ajaran akhlak
yang lahir di Eropa pada abad pertengahan adalah ajaran akhlak yang dibangun
dari perpaduan antara ajaran Yunani. Di antara mereka yang termasyur adalah
Abelard (1079-1142), seorang ahli filsafat Perancis dan Thomas Aquinas
(1226-1274), seorang ahli filsafat agama berkebangsaan Italia.[3]
C.
Sejarah
Akhlak Tasawuf Pada Bangsa Arab Sebelum Islam
Bangsa Arab pada zaman
jahiliah tidak menonjol dalam segi filsafat sebagaimana bangsa Yunani (Zeno,
Plato, dan Aristoteles). Hal ini karena penyelidikan terhadap ilmu terjadi
hanya pada bangsa yang sudah maju pengetahuannya. Sekalipun demikian, bangsa
Arab pada waktu itu mempunyai ahli-ahli hikamh dan syair-syair yang hikmah dan
syairnya mengandung nilai-nilai akhlak, seperti Luqman Al-Hakim, Aktsam bin
Shaiifi, Zubin Abi Sulma, dan Hatim Ath-Tha’i.
Dapat dipahami bahwa
bangsa Arab sebelum Islam telah memiliki kadar pemikiran yang minimal pada
bidang akhlak, pengetahuan tentang berbagai macam keutamaan dan mengerjakannya,
walaupun nilai yang tercetus lewatt syair-syairnya belum sebanding dengan
kata-kata hikmah yang diucapkan oleh filsuf-filsuf Yunani Kuno. Dalam
syariat-syariat mereka tersebut sudah ada muatan-muatan akhlak.[4]
D.
Sejarah
Akhlak Tasawuf Pada Bangsa Arab Setelah Islam
Islam
datang mengajak manusia pada kepercayaan bahwa Allah SWT. adalah sumber segala
sesuatu di seluruh alam. Semua yang ada di dunia berasal dari-Nya. Dengan
kekuasaan-Nya pula, alam dapat berjalan secara beraturan.
Sebagaimana
halnya Allah SWT. telah menetapkan beberapa aturan yang harus diikuti, seperti
kebenaran dan keadilan, juga menetapkan beberapa keburukan yang harus dihindari
manusia, seperti dusta dan kezaliman. Allah SWT.berfirman:
۞ إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebijakan, memberi bantuan kepada
kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.” (Q.S. An-Nahl [16]: 90)
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا
مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya:
“Barang siapa mengerjakan
kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan kan Kami beri balasan
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”(Q.S.
An-Nahl [16]: 97)[5]
Selain
itu, agama Islam juga mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan
memuat ajaran yang menuntun umat kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Semua
ini terkandung dalam ajaran Al-Qur`an yang diturunkan Allah dan ajaran sunnah
yang didatangkan dari Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur`an
adalah sumber utama dan mata air yang memancarkan ajaran Islam. Hukum-hukum
Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok
akhlak dan perbuatan dapat dijumpai sumber aslinya di dalam Al-Qur`an. Allah
SWT. berfirman:
إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ
يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
“Sesungguhnya Al-Qur`an
ini menunjukkan kepada jalan yang lebih lurus.” (Q.S. Al-Isra`[17]: 9)
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
“Kami menurunkan
Al-Qur`an kepadamu untuk menjelaskan sesuatu.” (Q.S.Al-Nahl[16]: 89)[6]
Dalam
Islam, tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah guru terbesar dalam
bidang akhlak. Bahkan, keterutusannya ke muka buni ini adalah untuk
menyempurnakan akhlak. Akan tetapi, tokoh yang pertama kalli menggagas atau
menulis ilmu akhlak dalam Islam, masih terus diperbincangkan. Berikut ini akan
dikemukakan beberapa teori.[7]
Pertama, tokoh
yang pertama kali menggagas ilmu akhlak adalah Ali bi Ibi Thalib. Ini berdasarkan
sebuah risalah yang ditulisnya untuk putranya, Al-Hasan, setelah kepulangannya
dari perang Shiffin. Di dalam risalah tersebut terdapat banyak pelajaran akhlak
dan berbagai keutamaan. Kandungan risalah ini tercemin pula dalam kitab Nahj al-Balaghah yang banyak dikutip
oleh ulama Sunni, seperti Abu Ahmad binn ‘Abdillah Al-‘Askari dalamm kitabnya Az- Zawajir wa al- Mawa’izh.
Kedua, tokoh
Islam yang pertama kali menulis ilmu akhlak adalah Isma’il bin Mahran Abu
An-Nashr As-Saukani, ulama abad ke-2 H. Ia menulis kitab Al-mu’min wa Al-Fajir, kitab akhlak yang pertama kali dikenal
dengan Islam. Setelah itu, dikenal tokoh-tokoh akhlak walaupun mereka tidak
menulis kitab tentangnya, seperti Abu Dzar Al-Ghifari, ‘ammar bbn Ysir, Nauval
Al-Bakkali, dan Muhammad bin abu Bakr.
Ketiga,
apada abad ke-3 H, Ja’far bin Ahmad Al-Qummi menulis kitab Al-Mani’at min Dukhul Al-Jannah. Tokoh lainnya ynag secara khhusus
berbicara dalam bidang akhlak adalah:
1. Ar-Razi
(250-313H) walaupun masih ada filsuf lain, seperti Al-Kindi dan Ibnu Sina.
Ar-Razi telah menulis karya dalam bidang
akhlak berjudul Ath-Thibb Ar-Ruhani
(kesehatan rohani). Buku ini menjelaskan kesehatan rohani dan penjagaanya.
Kitab ini merupakan filsafat akhlak terpenting yang bertujuan memperaiki moral
manusia.
2. Pada
abad ke-4 H, Ali bin Ahmad Al-Kufi menulis kitab Al-Adan dan Makarim
Al-Akhlak. Pada abad ini dikenala pula tokoh Abu Nashr Al-Farabi yang
melakukan penyelidikan tentang akhlak. Demikian juga. Ikhwan Ash-Shafa dalam Rasa’il-nya,
dan Ibnu Sina (370-428 H).
3. Pada
abad ke-5 H, Ibnu Maskawaih menulis kitab Tahdzib
Al-akhlaq waTath-hir Al-A’araq dan Adab
Al-‘Arab wa Al-Furs. kitab ini merupakan uraian suatu aliira akhlak yang
sebagian materinya berasal dari konsep-konsep akhlak dari Plato dan Aristoteles
yang diramu dengan ajaran dan hukum Islam serta diperkaya dengan pengalaman
hidip penulis dan situsai zamannya.
4. Pada
abad ke-6 H, Warram bin Abi Al-Fawaris menilus kitab Tanbih Al-Khathir wa Nuzhah An-Nazhir.
5. Pada
bad ke-7 H, Syekh Khawajah Nashir Ath-Thusi menulis kitab Al-Akhlak An-Nashiriyyah wa Awshaf Asy-Asyraf wa Abad Al-Muta’allimin.
E.
Tasawuf
pada Zaman Baru (Barat)
Pada
pertengahan akhir abad ke-15, Eropa mulai bangkit. Para ilmuwan mulai menghidup
suburkan filsafat Yunani Kuno. Para ahli bangsa Eropa termasuk Itali mulai
meningkatkan kegiatan dalam bidang filsafat Yunani, ilmu pengetahuan dan
tekhnologi tersebut.
Akhlak
yang mereka bangun didasarkan pada penyelidikan menurut kenyataan empirik dan
tidak mengikuti gambaran-gambaran khayal atau keyakinan yang terdapat dalam
ajaran agama. Sumber akhlak yang semula ajaran al—kitab dan dogma kristiani dan
khayalan mereka diganti dengan ajaran akhlak yang bersumber pada logika dan
pengalaman empirik. Hal yang demikian pada gilirannya melahirkan apa yang
disebut dengan etika dan moral yang berbasis pada pemikiran akal pikiran.
Banyak
tokoh pemikir akhlak yang lahir pada abad baru ini. Di antaranya:[8]
1.
Descartes (1596-1650)
Di
antara sekian tokoh Barat yang memerhatikan kajian akhlak adalah Descartes,
filsuf dari Prancis. Ia telah meletakkan dasar-dasar baru bagi ilmu pengetahuan
dan filsafat, di antaranya:
a.
Tidak menerima sesuatu
yang belum diperiksa akal dan sebelum dipastikan nyata.
b.
Penyelidikan terhadap
sesuatu harus dimulai dari yang terkecil dan yang termudah lalu mengarah pada
yang lebih kompleks.
c.
Tidak boleh menetapkan
kebenaran sebelum di uji terlebih dahulu.
2. John
of Salisbury (1120-1180 M)
John
of Salisbury adalah filsuf Inggris yang menghabiskan sekitar 12 tahun dari umur
pertamanya di Paris yang pada waktu itu merupakan pusat studi filsafat,
teologi, dan sastra.
John
of Salisbury terkenal dengan uraiannya yang menjelaskan bahwa kekuatan
spiritual berada di atas kekuatan duniawi. Oleh karena itu, ia menjadi pendukung
gereja, berbicara mewakili gereja, membela gereja, dan menyerang kekuasaan
dunia dan menggambarkannya sebagai pengikut kekuasaan spiritual.
3. Bentham
(1748-1832) dan Stuart Mill (1806-1873)
Bentham
dan Mill meemindahkan paham Epicurus ke dalam paham Utilitarianisme. Keduanya
memindahkan paham Epicurus dari paham Egoitic Hedonisme ke dalam paham
Universalistik Hedoisme. Paham keduanya tersiar luas di Eropa dan memberikan
peran besar dalam pembentukkan hukum dan politik.
4. Thomas
Hill Green (1836-1882) dan Herbert Spencer (1820-1903)
Green
dan Spencer mengaitkan paham evolusi dengan akhlak. Di antara pemikiran akhlak
Green adalah:
a. Manusia
dapat memahami suatu keadaan yang lebih baik dan dapat menghendaki sebab ia
adalah pelaku moral.
b. Manusia
dapat melakukan realisi diri karena ia adalah subjek yang sadar diri, suatu
reproduksi dari kesadaran diri yang abadi.
c. Cita-cita
keadaan yang lebih baik adalah yang ideal, tujuan yang terakhir.
d. Ide
menjadi pelaku bermoral dalam kehidupan manusia. Kebaikan moral adalah yang
memuaskan hasrat pelaku moral yang sesungguhnya adalah tujuan yang memiiliki
nilai yang mutlak.
5. Spinoza (1632-1677), Hegel (1770-1831), dan
Kant (1724-1831)
Di
antara ilmuan Barat yang mempunyai pengaruh besar dalam bidang akhlak adalah
Spinoza, Hegel, dan Kant.
Ethica yang
merupakan karya utama Spinoza, di tulis dengan maksud untuk membantu mengurangi
penderitaan orang-orang yang menganut suatu keyakinan. Karya ini bukan
semata-mata karya filosofi, melainkan memiliki tujuan praktis: untuk mengajari
pembacanya bahwa tuhan merupakan bagian dari penciptaan, bahwa semua hal yang
eksis merupakan manipestasi dari tuhan termasuk umat manusia.
Sementara
itu, Kant meyakini adanya kesusilaan. Berat etikanya adalah rasa kejiwaan (panggilan
hati nurani), untuk melakukan sesuatu.
6. Victor
Cousin (1792-1867) dan August Comte (1798-1857)
Cousin
adalah salah seorang yang bertanggung jawab menggeser filsafat Prancis dari
sensasionalisme ke arah spiritualime menurut pemikirannya sendiri. Ia
mengajarkan bahwa dasar metafisika adalah pengamatan yang hati-hati dan
analisis atas fakta-fakta tentang kehidupan yang sadar.
August
Comte adalah seorang ilmuan Perancis yang dijuluki sebagai “bapak sosiologi”.
Dia dikenal sebagai oraang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah daalam
ilmu sosial.
7. Pasca
Mill dan Spencer
Sejak
Mill dan Spencer hingga sekarang, penelitian tentang akhlak yang hanya
menjelaskan teori-teori sebagaimana diutarakan di atas. Dengan kata lain, belum
ditemukan teori-teori lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Pertumbuhan
dan perkembangan ilmu akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya
apa yang disebut Sophisticians, yaitu
orang-orang yang bijaksana (500-450 SM).
Ajaran
akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan adalah ajaran akhlak yang
dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani. Bangsa Arab pada zaman jahiliah
tidak menonjol dalam segi filsafat sebagaimana bangsa Yunani (Zeno, Plato, dan
Aristoteles). Hal ini karena penyelidikan terhadap ilmu terjadi hanya pada
bangsa yang sudah maju pengetahuannya.
Islam
datang mengajak manusia pada kepercayaan bahwa Allah SWT. adalah sumber segala
sesuatu di seluruh alam. Semua yang ada di dunia berasal dari-Nya. Dengan
kekuasaan-Nya pula, alam dapat berjalan secara beraturan.
Akhlak
yang mereka bangun didasarkan pada penyelidikan menurut kenyataan empirik dan
tidak mengikuti gambaran-gambaran khayal atau keyakinan yang terdapat dalam
ajaran agama.
B.
Saran
Sebagai generasi muda bangsa Indonesia, kita harus mempelajari
sejarah-sejarah Islam pada
zaman dahulu. Karena, jika kita mengetahui sejarah, kita tahu bagaimana
pengorbanan para ahli sejarah Islam yang memperjuangkan bangsanya. Dan kita
sebagai mahasiswa dalam bidang ilmu perpustakaan, kita juga harus mempelajari
dan mengetahui sejarah perkembangan Islam terdahulu agar kita tidak melupakan
orang-orang terdahulu yang telah membangkitkan ajaran Islam di dunia agar
menjadi pedoman atau panutan hidup kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. 2015. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah.
Anwar,
Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf.
Bandung: Pustaka Setia.
Nata, Abuddin. 2015. Akhlak
Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan
Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 50
[2] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 50-55
[3] Ibid, hlm. 56
[4] Ibid, hlm. 56-57
[5] Ibid, hlm. 57-58
[6] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia
(Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 58
[7] Rosihon Anwar, op. cit, hlm 58
[8] Ibid., hlm.60-65
No comments:
Post a Comment